Lini Transisi, Ketika Seni Bercerita tentang Sejarah



"Belum pernah ada seni yang dapat menaklukkan kekuasaan. Namun seni lah yang ditakutkan banyak penguasa."

Lukisan "Penyerangan Pasukan Mataram ke Batavia".

Saya bukan penikmat seni yang fanatik, pun bukan seorang pembaca sejarah yang baik. Namun sabtu ini rasa penasaran tentang sejarah Jakarta membawa saya akhirnya datang juga ke tur dan pameran ini. Bertajuk Lini Transisi, Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional ini tenyata adalah yang kedua kalinya diadakan. Pameran kedua ini adalah kerjasama dari Galeri Nasional Indonesia (Galnas), beberapa koleksi dari Kementerian Luar Negeri RI, Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Sejarah Jakarta, dan Museum Bank Indonesia. Tentu juga didukung Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena kotanya dibahas dalam diskusi nanti.



Pamerannya sendiri sebenarnya sudah dihelat sejak 2 Agustus 2019 dan rencananya akan dibuka sampai 31 Agustus 2019, dari jam 10.00 sampai 19.00 di Gedung A Galnas. Namun khusus tanggal 24 Agustus 2019 diselipkan juga rangkaian tur dan diskusi dengan tema "Sejarawah Bicara Jakarta" dengan menghadirkan J.J Rizal, seorang sejarawan yang wajahnya beberapa kali pernah saya lihat di televisi saat berbicara tentang sejarah ataupun Jakarta.


Tur dibuka dengan prolog dari kurator Galnas--selaku moderator juga--tentang lukisan besar yang terpampang di selasar gedung A Galnas. Lukisan berjudul "Penyerangan Pasukan Mataram ke Batavia" oleh S. Sudjojono atau biasa dipanggil Pak Djon ini adalah lukisan pesanan gubernur DKI Jakarta waktu itu, Ali Sadikin, saat akan menyambut kedatangan Ratu Elizabeth dan Pangeran Philip ke Jakarta tahun 1973.

Menarik memerhatikan besarnya lukisan ini ternyata hanyalah replika dari lukisan aslinya yang berukuran hingga 3 x 10 meter. Terdiri dari 3 bagian (orang seni lukis menyebutnya "triptych"), garis besar lukisan ini menceritakan tentang penyerangan Batavia--yang saat itu masih dikuasai oleh Belanda--oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja Mataram ke-3.









Bagian pertama atau paling kiri lukisan menggambarkan Sultan Agung yang dikelilingi oleh abdi-abdinya. Dengan posisi badan duduk tegak, ada yang menafsirkan lukisan ini menunjukkan tekad sang sultan untuk merencanakan penyerangan ke Batavia.












Bagian kedua adalah bagian paling besar lukisan dengan goresan kuas yang memperlihatkan riuhnya pertempuran saat itu (sekitar 1628-1629). Tentara Belanda dan tentara Sultan Agung sama-sama bersimbah darah. Namun yang menarik disini terlihat bahwa keragaman Indonesia itu sudah ada sejak dulu karena pasukan sultan Agung bukan hanya dari Jawa, namun juga Bali, Madura, NTB, dan Makassar.

Bagian tengah lukisan "Penyerangan Pasukan Mataram ke Batavia".



Lalu bagian terakhir potongan lukisan memperlihatkan Jan Pieterzoon Coen (gubernur jenderal VOC di Batavia tahun 1618-1623) yang berdiri berhadap-hadapan dengan utusan Mataram, yaitu Kyai Rangga. Uniknya posisi Kyai Rangga dibuat sama tingginya dengan Coen dimana saat itu pribumi tak boleh berdiri sama tinggi dengan orang-orang kulit putih. Apa yang dilakukan Kyai Rangga dalam lukisan itu? Beberapa sejarawan menceritakan bahwa kyai berpura-pura menyerahkan upeti ke Belanda namun diam-diam memata-matai titik lemah lawan.











Diskusi mengalir santai dan ada beberapa poin mengenai sejarah Jakarta yang saya baru tahu:
  • Beberapa nama calon Ibukota Indonesia yang sempat diusulkan adalah kota Jakarta, Malang, Surabaya, Bandung, dan Semarang namun kota-kota ini kental dengan nuansa kolonial. Sedangkan kemerdekaan adalah antikolonialisme.
  • Tapi akhirnya Soekarno tetap memilih Jakarta sebagai ibukota karena banyak sejarah bangsa yang terukir disana.
  •  Ali Sadikin diangkat sebagai gubernur DKI Jakarta yang pertama dan pesan Soekarno saat itu agar mengubah wajah kolonial Jakarta menjadi lebih nasionalis. Maka perombakan dimulai dari daerah New Batavia yaitu daerah selatan Jakarta.
  • Kata Soekarno saat melantik Ali Sadikin, "De mens left niet van brood allen, manusia tidak hidup dari makan tok... Cita-citaku yang mengenai kota Jakarta sekarang akan saya supplant kepadamu, supplant sebagian daripada aku punya kalbu ini. Seperti saya iris, saya masukkan di dalam kalbumu, Ali Sadikin."
  • Fokus pembangunan Soekarno saat itu memang banyak menempatkan monumen-monumen bertema nasionalis di ibukota. Namun pembangunan itu belum sampai menyentuh Old Batavia, yaitu kawasan Jakarta bagian utara atau kota lama. Namun akhirnya kawasan itu diubah menjadi cagar budaya.
  • Pembagunan era Soekarno selalu memiliki visi jauh ke depan, seperti Monas, Masjid Istiqlal, patung Selamat Datang di Bundaran HI, patung Dirgantara, biasa dikenal dengan Tugu Pancoran atau patung Seven up (karena bentuk tiangnya yang melengkung seperti angka 7), dan lainnya.
  • Patung Dirgantara atau Tugu Pancoran dibuat oleh pematung Edhi Sunarso dan satu-satunya monumen di Jakarta yang belum diresmikan. Patung pancoran disebut juga monumen congkel mata karena mata sebelah kiri patung ini terlihat bolong.
  • Untuk pembangunan masjid Istiqlal sebagai masjid nasional, sempat diusulkan Hatta agar dibangun di tengah perkampungan dengan alasan Tuhan lebih dekat dengan orang biasa. Namun Soekarno berpendapat masjid harus dibangun dekat dengan orang-orang yang biasanya sering lupa dengan Tuhan. Yaitu di dekat istana negara.
  • Ada fakta menarik bahwa orang-orang yang dulu pernah berperang melawan kompeni itu akan dipenggal kepalanya jika pulang ke tanah asal mereka. Maka beberapa kelompok orang yang tak berani pulang setelah kekalahan perang itu, memilih tinggal di Batavia. Lalu munculah daerah Matraman, yaitu dulunya tempat orang-orang Mataram yang tak pulang ke kampung halamanya.
  • Kemudian ada Tanah Abang yang dulu dijadikan pangkalan penyerangan tentara Mataram saat akan menyerbu Batavia karena kondisi tanahnya yang berbukit dengan rawa-rawa dan ada kali Krukut disekitarnya. Cocok untuk jadi jalur penyerangan. Karena tanahnya yang merah, orang-orang Jawa menyebutnya "tanah abang" yang dalam bahasa Jawa berarti merah.

Lukisan karya Adam Malik, Menteri Luar Negeri RI periode 1966-1978.

Kurator Galnas Suwarno Wisetrotomo sedang menjelaskan makna lukisan.




Lukisan Tiga Anjing, menggambarkan perebutan kekuasaan oleh para penguasa.



Diskusi dengan J.J Rizal, penulis, budayawan, dan pendiri Komunitas Bambu 








Lukisan Dewi Sri, menggambarkan kekayaan hasil alam Indonesia.





Karya Hening Swasono dengan judul "Retak-retak Kemegahan dan Kekuatan"








Replika Patung Dirgantara atau Tugu Pancoran


"Kasih Ibu Sepanjang Masa" karya Effendi.




Ini saya, hehehe.
Latar lukisan berjudul "Bulan dan Batik".


Kembali ke lukisan tadi, walaupun sebenarnya Mataram kalah dalam peperangan itu, lukisan ini ingin menunjukkan pada dunia bahwa bangsa Indonesia itu beragam dan kita pernah melawan.

Seperti kata Pak Pram di novelnya Bumi Manusia,

"Kita telah melawan, Nak. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."

Jakarta, 25 Agustus 2019

* * *


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cuilan Kisah Masa Bocah (4) : Kebun-kebun Masa Kecil Kami

Ayo, Ceritakan Liburanmu!

Cuilan Kisah Masa Bocah (5) : Aku Sudah Berkepala Dua