Ayo, Ceritakan Liburanmu!

Hari ini hari pertama masuk sekolah di tahun ajaran baru. Setelah libur panjang, banyak anak yang terlihat bergembira ketika kembali bertemu dengan teman-teman satu kelasnya. Namun, tak sedikit juga yang menyimpan rasa malas mengingat beberapa mata pelajaran yang tak mereka sukai akan kembali menghampiri.


Semua itu tergambar jelas di mata Pak Nanang, guru Budi Pekerti yang telah lama mengajar. Maka, pagi itu di jam pertama ia mengajar, sengaja ia tak membawa buku ataupun alat tulis lainnya yang biasa dibawa saat mengajar. Dengan tangan kosong, ia memasuki kelas dan berdiri di depan, menghadap ke arah siswa.


Terkenal karena kebaikan dan cara mengajarnya yang menyenangkan, tak ada rasa cemas dan takut di wajah siswa. Semua menatap penuh perhatian pada Pak Nanang yang pasti sudah punya ide menarik lainnya dalam belajar.


“Anak-anak, kita telah melewati libur yang panjang, menyegarkan, dan penuh cerita. Sekarang kita akan belajar berbagi. Siapa yang punya cerita menarik selama liburan?” Pak Nanang menyebarkan pandangan ke setiap sudut kelas sambil tersenyum. Tak ada yang bicara.




Tak apa, pikir pak Nanang. Siswa disini memang belum terbiasa bercerita di depan orang banyak. Maka, ia pun mulai bercerita tentang pengalamannya selama liburan.



“Bapak pernah menangis seharian ketika liburan.” Anak-anak mencodongkan kepala ingin tahu. Pak Nanang menangis? Mustahil. “Kalian tahu kenapa?” Anak-anak menggelengkan kepala. “Karena bapak sedang mengiris bawang merah.” Anak-anak tersenyum geli mendengarnya. Semua juga bakal menangis kalau mengiris bawang merah.


Pak Nanang terdiam sejenak, kemudian bertanya, “Kalian tahu kenapa bawang bisa membuat kita menangis?” Anak-anak kembali menggeleng. “Karena bawang mengeluarkan gas belerang ketika diiris. Belerang ini akan bereaksi dengan air mata menjadi asam sulfat yang membuat mata perih.”


“Ooo..,” gumam anak-anak. “Tapi jangan sengaja mengiris bawang biar dibelikan mainan oleh orangtua,” kata Pak Nanang kemudian. Anak-anak tergelak mendengarnya.

Pak Nanang memang pandai bercerita. Suasana kelas pun mulai mencair. Maka Pak Nanang pun mengajukan lagi pertanyaannya yang pertama, “Siapa yang punya cerita menarik selama liburan? Ayo, ceritakanlah. Bapak ingin sekali mendengarnya.”


Hening kembali. Pak Nanang tetap tersenyum riang. Anak-anak tak boleh dipaksa, begitu pikirnya. Tapi tak lama kemudian satu siswa mengacungkan tangannya. “Saya ada cerita, Pak,” kata anak itu.


Pak Nanang pun mempersilakannya bercerita. “Ya, silakan Pino. Berdiri dan ceritakan dari bangkumu.”


Anak-anak yang lain mulai riuh berbisik. Ternyata bukan karena mereka tak ada cerita selama liburan, tapi karena mereka malu jika bercerita di depan kelas. Maka, mendengar Pino tak harus maju kedepan kelas untuk bercerita, anak-anak yang lain pun  dalam hati mulai tak sabar untuk bercerita. Setelah Pino, aku akan bercerita, begitu mungkin tekad mereka.


Pino berdehem keras untuk menghilangkan gugup. “Emm.. Ceritaku ini agak memalukan sebenarnya,” Pino diam sejenak, menunduk. Tapi tak lama kepalanya kembali mendongak, “Waktu pulang dari liburan, aku merasa mual dan pusing didalam bus. Kemudian aku pun muntah. Ibuku kemudian menggosokkan minyak kayu putih di punggung dan perutku. Karena mengira masuk angin, aku pun minta dikerok oleh ibuku. Tapi ibu tak membolehkan aku dikerok. Kata ibu dikerok hanya akan membuat pembuluh darah di kulit terluka. Angin yang ada dalam perut tidak mungkin keluar lewat kulit, maka perut kita cukup dioleskan minyak hangat saja jika merasa kembung dan mual. Sekian ceritaku.” Pino pun kembali duduk. Tampak ekspresi lega diwajahnya. Pak Nanang bertepuk tangan diikuti anak-anak yang lain.


“Pengalaman yang menarik Pino. Nah, sekarang siapa lagi yang akan bercerita?” Pak Nanang bertanya lagi. Kali ini tak usah ditunggu. Tangan-tangan anak-anak dikelas pun berlomba untuk mengacung. Berharap mereka yang terpilih berikutnya.


“Ya, selanjutnya Mega,” Pak Nanang menunjuk Mega karena tangannya teracung pertama kali.


“Liburan kemarin aku tidak pergi kemana-mana, hanya dirumah membantu ibu membuat kue untuk dijual. Karena terlalu asyik membuat kue, aku jadi lupa makan dan perutku sakit. Kemudian ibu memberiku susu untuk diminum lalu aku baru makan nasi dan telur. Kata ibu, susu bisa menjadi penolong pertama jika perut sakit karena telat makan. Sekian ceritaku.” Mega langsung duduk dengan perasaan lega. Wajahnya terlihat lebih ceria, tidak setegang ketika mengacungkan tangan tadi. 


“Wah, Bapak baru tahu juga. Terima kasih ya Mega. Ceritanya sangat menarik!”  Pak Nanang bertepuk tangan diikuti anak-anak lain. Mendengar dirinya dipuji, wajah Mega merah seketika. Anak-anak lain pun langsung mengacungkan tangan sebelum diminta, berharap akan dipuji juga oleh Pak Nanang. 


Pak Nanang hanya tertawa melihat antusias anak-anak. “Cukup ceritanya untuk hari ini. Sekarang kita sudah belajar pentingnya berbagi ilmu. Jika ada pengalaman yang bermanfaat, ceritakanlah pada teman-teman, agar semua menjadi pintar.”


Pak Nanang menangkap wajah-wajah kecewa karena belum bercerita. “Mulai minggu depan, akan ada 2 orang dari kalian yang bapak persilakan untuk bercerita sebelum pelajaran dimulai. Bagaimana?”


“Horeeee!!!” Anak-anak riuh bersorak senang. Dan hari itu pun karena Pak Nanang, sekali lagi menjadi hari belajar yang menyenangkan buat anak-anak.

* * *

(Cerpen ini pernah dimuat di harian Kompas, Minggu 20 November 2011)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cuilan Kisah Masa Bocah (5) : Aku Sudah Berkepala Dua

Lini Transisi, Ketika Seni Bercerita tentang Sejarah