Cuilan Kisah Masa Bocah (4) : Kebun-kebun Masa Kecil Kami
Seringkali kenangan-kenangan kecil dapat jadi peneman sunyi hati, peneguh iman, dan penguat juang. Masa inilah satu penentu penting pribadi kita kini. Bertumbuk-tumbuk memori baru datang, janganlah lekangkan kisah-kisah kanak kita. Beranjak dari lampaulah, maka saat ini jadi lebih berarti....
* * *
Aku sering
bermain di kebun-kebun, melihat bermacam bentuk tanaman. Bahkan belakang, kiri,
kanan, dan depan rumahku pun tak terhitung lagi ditumbuhi beragam tanaman. Jika
malam telah mengungkung langit, kau tak akan berani bahkan hanya melirik tanah
belakang rumahku karena walau ada lampu penerang, siluet pohon-pohon besar
disana layaknya raksasa hitam yang tinggi menjulang. Aku tak pernah mau
melihatnya. Apalagi jika lampu di sana belum dinyalakan.
Tanaman-tanaman yang pernah kulihat pun mungkin lebih beragam
dibanding yang tercetak di buku pelajaran IPA SD waktu itu. Di buku itu hanya dibahas tentang tanaman
berbiji dalam (angiosperm) dan berbiji luar (gymnospermae) disertai beberapa contoh
gambar misalnya. Gambar yang tak bisa kau sentuh, tak bisa kau raba, apalagi
kau genggam untuk tahu apakah benar kulit buahnya terasa kasar? Atau apa benar
daunnya teraba berambut? Seperti apakah warna kuning alpukat itu? Apakah sama
dengan kuningnya jeruk?
Kami—aku dan semua teman-teman dikelas—tak perlu gambar-gambar
sketsa hitam putih itu untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk tanaman. Guru-guru
kami pun tak perlu bersusah-susah menggambarkan kira-kira bentuknya. Kami semua
sudah melihat itu sendiri, secara langsung di luar kelas. Setidaknya untuk
tanaman-tanaman tropis yang kami baca di buku.
Anak-anak dulu ketika lahan bermain mereka masih tak terhitung
jumlahnya, dengan pohon-pohon rindang bertebaran sepanjang mata melihat, tak
perlu khawatir untuk memahami anatomi tumbuhan. Kami belajar dengan sendirinya.
Tak perlu membayang-bayangkan bagaimana akar gantung beringin itu, bagaimana bentuk
biji alpukat ketika berkecambah, atau bagaimana rupa pohon kapuk dan biji-biji
kapuknya yang mulai menjadi seratan kapuk lalu beterbangan ketika masak dan
tertiup angin. Semua terbentang tanpa kami minta.
Sekarang, buku-buku teks pelajaran sudah bercetak warna. Semua
gambar tak lagi sketsa tangan hitam-putih. Anak-anak dapat lebih mudah
mengira-ngira bentuknya. Internet pun sudah jauh lebih mudah diakses. Tinggal
ketik nama tanaman yang ingin kau tahu, sahabat terbaik kita Google pun tak
segan membantu. Lebih lengkap, lebih jelas dibanding buku.
Tapi tetap saja itu tak membantu banyak. Sama halnya seperti
gambar hitam-putih,foto-foto berwarna itu belum bisa kau sentuh, belum bisa kau
raba, belum bisa kau genggam (entahlah beberapa tahun lagi, mungkin sudah ada
teknologi cangging untuk menyentuh, meraba, atau menggenggam langsung gambar
yang kau lihat).
Suatu hari, aku bercerita pada adik bungsuku. Ia tak pernah melihat langsung pohon kapuk karena pohon
kapuk di kebun dekat rumah kami sudah ditebang untuk dibangun lapangan
badminton. Sekarang yang terlihat hanya lapangan hijau dengan
net berdiri di tengahnya.
Aku hanya bisa menceritakan bagaimana kapuk-kapuk itu bergantungan
di ranting pohonnya, menyembul seperti bongkahan kapas yang bungkusnya sudah
robek, dan sewaktu-waktu dapat berjatuhan mengenai kepala jika tertiup angin
sepoi. Ia membayangkan bagaimana rambutnya dipenuhi kapuk. “Ih, susah
ngebersihinnya,” ucapnya. Aku mengangguk. Membersihkan tangan dari kapuk ketika
menjemur kasur saja sudah bikin bersih-bersin. Ia lalu rebahan di bantal,
mungkin membayangkan bahwa ternyata kapuk itu dari pohon.
“Sudah pernah lihat akar tunggang?” aku bertanya.
“Belum. Tapi pernah baca di buku sains,” jawabnya.
Sudah kukira. Kemudian kuajak ia ke kebun belakang rumah. “Abang
kasih liat akar tunggang dan serabut.” Matanya penasaran.
Kami berdiri di pintu belakang rumah yang kini tak lagi luas.
Setengahnya sudah dibuat rumah bedeng couple 2 pintu. Jadi yang tersisa hanya
sebatang pohon alpukat, sebatang pohon jeruk nipis, sebatang jeruk purut,
sebatang sawo, sebatang belimbing wuluh, sebatang rimbang, dan dua pisang.
Selebihnya tumpukan kayu bekas renovasi rumah dan tanaman-tanaman hias perdu
koleksi mama.
Aku mencari-cari gulma atau tanaman liar lain yang kecil dan mudah
dicerabut akarnya. Kucabut satu rumput kecil. Tanaman berakar serabut.
“Ini akar serabut,” jelasku. Adikku manggut-manggut. Kucari lagi
tanaman lain, kucabut. Akar tunggang. Bergantian ia melihat langsung bagaimana
akar tunggang dan serabut itu.
“Sudah ngerti?” tanyaku. Ia mengangguk.
Aku jadi teringat ketika dulu di kelas tak pernah terbayang juga bagaimana
bentuk akar. Karena letaknya di dalam tanah. Tapi kami mencoba mencari sendiri,
melihat dengan mata kami sendiri. Di tanah-tanah subur yang masih luas di
sekitar.
Ketika jam istirahat, aku dan seorang teman berlomba mencari
sebanyak-banyaknya tanaman berkar serabut atau tunggang. Berjongkok, kami
mencabuti satu-satu gulma di halaman sekolah. (Aku yakin, halaman itu jadi
bersih karena kami). Dan kami akhirnya memahami dengan lebih jelas.
Dunia anak sekarang hanya berkelabat di hamparan maya. Lahan
bermain dengan tanah dan pohon-pohon rindang sudah jauh berkurang. Hanya ada
tembok-tembok rumah yang bahkan tak bisa kau jadikan pantulan bola karena
dinding-dinding itu tak boleh kotor.
Maka, ketika aku menceritakan petualanganku dan teman-teman
menjelajahi kebun-kebun rindang dengan sarang lebah dan burung dimana-mana,
adikku hanya melongo iri. Walau ia mendesakku untuk menemaninya menjelajah juga
kebun-kebun itu, tapi dimana aku bisa temukan kebun-kebun itu?
Ya, disaat dunia maya makin luas, perlahan kebun-kebun masa kecil
kami hilang.
*****
Komentar
Posting Komentar