Cuilan Kisah Masa Bocah (6): Batu Terang

Seringkali kenangan-kenangan kecil dapat jadi peneman sunyi hati, peneguh iman, dan penguat juang. Masa inilah satu penentu penting pribadi kita kini. Bertumbuk-tumbuk memori baru datang, janganlah lekangkan kisah-kisah kanak kita. Beranjak dari lampaulah, maka saat ini jadi lebih berarti....

* * *

Jika orang dewasa terpukau dengan berkilaunya Akik, aku diwaktu bocah cukup bahagia dengan adanya batu terang. Ya kami menyebutnya batu terang, batu yang jika diterawang akan meneruskan sinar. Entah apa nama umumnya. Batu yang menarik dan punya daya hipnotis yang membuai bocah ingusan agar mendekapnya terus sepanjang malam. Dan itulah aku dengan batu-batu ajaib.

Apa kau pernah mendengar nama “batu terang”? Atau malah pernah melihatnya? Menggenggamnya? Batu ini hanya seukuran kelereng yang jika dilempar kembali diantara tanah hitam kau akan sulit merabanya. Seringkali batu jenis ini tersebar diantara ribuan kerikil atau batu kali. Bentuknya asimetris—cenderung bundar—dengan warna yang sudah pasti hitam. Ada yang pekat dan ada pula yang abu. Namun biasanya makin pekat hitamnya, makin tinggi nilai koleksinya—bagiku dan anak-anak lain pengumpul batu terang.

Lalu, apa istimewanya si hitam ini? Sudah kecil, item lagi! Eittss...tampilan bisa menipu kawan! Cobalah kau terawang si hitam kecil itu ke arah matahari siang atau sumber cahaya terang lain. Bahkan malaikat pun mungkin akan berdecak kagum akan ciptaan Allah ini (oke, ini berlebihan). Bayangkan, di dalam batu hitam tak menarik ini, nyata terpancar sinar lembut dari molekul-molekul pejalnya yang transparan. Menyaring terik matahari menjadi cahaya bening nan lembut. Itulah mengapa ia dijuluki batu terang. Batu hitam yang dapat bersinar.

Aku, sepupu, dan teman-teman adalah kolektor setia batu terang. Jangan heran jika rumah-rumah yang sedang direnovasi adalah titik panas daerah buruan kami. Lihatlah, dimana ada tumpukan kerikil, disanalah kami merubung. Mengorek-orek kerikil, menerawang matahari, dan mengantongi batu-batu yang bersinar yang jumlahnya mungkin tak seberapa diantara kerikil-kerikil lain. Jika sedang beruntung, aku bisa mendapat sekaleng besar batu terang yang sebenarnya tak kuapa-apakan di rumah. Hanya disimpan rapi didalam lemari setelah sebelumnya dicuci bersih dengan air bersabun. Namun, terang batu itu lah yang jadi daya tariknya. Melihat sinar lampu kamar atau pancaran matahari dari balik terawang batu, entah mengapa, membuat hati lebih tenang. Aku kagum sekali. Allah memang Maha Pencipta.

Mama seringkali berkacak pinggang marah melihatku menyimpan batu-batu hitam yang menurutnya tak berguna di lemari baju. Baju seragam dan kaos main yang harusnya rapi tersusun di lemari, harus rela berimpit tempat dengan kaleng susu formula karatan berisi batu-batu hitam. Akhirnya, kaleng itu pun harus keluar dari lemari, dan tersuruk ke pojok kamar. Hmm...tak jadi masalah juga sebenarnya asalkan tak berpindah tempat ke luar rumah. Apa jadinya kalau mereka terkena lembab udara malam? *lebay.

Sempat selama hampir sepanjang es-de pengalaman menjadi kolektor batu, membuatku punya daya estetika sendiri terhadap batu-batu terang. Alhasil, ketika rumahku direnovasi dan kerikil menggunung, disanalah aku dan beberapa teman bercokol mengorek-orek batu. Berlomba cepat dengan kucing liar yang mengorek-orek tumpukan pasir disamping kami. Jika si kucing mungkin memasukkan hasil metabolismenya ke pasir (red: E'ek!), kami malah mengambil sesuatu dari kerikil. (Kadang masih kepikiran, siapa yang jamin si kucing tak menanam ranjau daratnya di tumpukan kerikil? Hiii...)

Jika mengingat-ingat apa yang aku pikirkan dulu sampai-sampai mengumpulkan batu-batu hitam yang di toko bangunan pun harganya tak akan beda dengan kerikil lain, masih geleng-geleng jika seleraku saat itu ternyata hanya batu kerikil. Bukan giok, berlian, atau mutiara yang sama-sama batu, namun dengan persepsi indah yang hampir sama buat semua orang. Tak seperti batu-batu terang yang apa mungkin hanya aku, sepupu, dan beberapa teman masa kecilku yang tertarik?

Sepuluh tahu kemudian, aku sudah tak mengumpulkan batu-batu itu lagi. Entah dimana rimbanya kini. Mungkin sekarang sudah tertanam kaku di lantai atau tertimbun rapat dalam tanah. Sudah lama sekali aku tak menerawangnya.

Allah menciptakan keindahan-keindahan yang beragam pada makhluk-Nya. Keindahan yang satu tak harus dimiliki yang lain. Kami—aku dan teman-teman masa kecil—melihat sesuatu dalam batu terang yang tak dilihat orang dari luar tanpa menerawang. Batu akan bersinar, dan terlihatlah isinya yang indah transparan. Mungkin, ia tak seindah batu giok tampak luar dan mungkin ia tak seberkilau berlian dari samping, namun ia punya keindahan luar biasa dari dalam. Dari sini tersirat bahwa sesuatu yang tampak biasa dari kasat, tak berarti biasa pula didalam. Jangan menilai sesuatu langsung dari luar. Kenali ia lebih dekat, dan akan kau lihat kemilaunya.

Tapi yang pasti dari batu-batu terang, bagiku terbuka pemahaman baru, bahwa yang terbaiklah yang terpilih. Be the best and you will be chosen!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cuilan Kisah Masa Bocah (4) : Kebun-kebun Masa Kecil Kami

Ayo, Ceritakan Liburanmu!

Cuilan Kisah Masa Bocah (5) : Aku Sudah Berkepala Dua