Izinkan Aku Ke Luar Negeri, Ya Allah...


Aku belum pernah ke luar negeri. Bahkan hanya untuk ke Singapura atau Malaysia yang katanya tiketnya lebih murah di bandingkan pergi ke Bali.
Beberapa teman di kampus sudah beberapa kali menginjakkan kaki di negeri orang. Entah untuk pelesir atau yang lebih seringnya konferensi internasional pemuda. Youth Conference inilah, Youth Congress itulah, dan ada juga pertukaran pelajar. Foto profil Facebook mereka lebih jitu bikin tambah kepincut bertandang kesana. Siapa coba yang tak mau melihat sendiri menara Eiffel? Atau benar-benar mendengar orang Korea bercakap-cakap di kampungnya sendiri? Gratis pula! Karena biasanya ada saja sponsor yang memberi dana, selain dari kampus juga tentunya. Bergengsi rasanya jika bisa terbang ke luar negeri, apalagi dengan biaya pribadi Rp 0.
Pernah sekali waktu meminta wejangan dari salah seorang teman yang sudah pernah ke Tokyo dan Seoul untuk konferensi kepemudaan tadi. Ia hanya menyarankan untuk rajin mencari info tentang acara-acara internasional seperti itu. Kemudian  banyak-banyak latihan menulis essai dalam bahasa Inggris. Semudah itu? Tak juga. Dari 5 seleksi yang saya ikuti, tak ada satu pun yang nyangkut. Alih-alih dapat surat invitation yang berbunyi, “We invite you to join in our event...” malah menerima email permohonan maaf. Sempat ditelpon langsung dari Australia, tapi tak ada satu kata pun yang saya mengerti selain, “I am from Australia.” Entah karena memang sinyal telepon yang jelek atau telinga saya yang belum dikorek, selebihnya hanya sengau yang terdengar .
“Jangankan ke luar negeri, ke Bandung aja aku belum pernah. Iri deh kamu bisa dapat kuliah di Bandung,” ucap salah satu teman lama di Jambi ketika kami bercakap-cakap di telepon. Muram durjaku yang gagal ke konferensi luar negeri tertumpah disana dan hanya itu yang temanku katakan.
“Seberuntung itukah?” tanyaku dalam hati.
 “Mungkin belum rezeki kamu kesana sekarang. Tunggu aja, pasti bisa kok,” ucap temanku akhirnya.  Aku mengiyakan.
Memang benar mungkin itu belum rezeki. Belum ada izin dari Tuhan untuk pergi ke sana. Ini bisa jadi sentilan. Bagaimana pula akan terbang ke luar negeri jika kesempatan dapat bersekolah di Bandung saja belum benar-benar aku syukuri?
Tuhan pasti amat senang dengan makluknya yang berterima kasih, bersyukur sudah diberi apapun dari-Nya. Siapa yang tak senang jika pemberian kita disambut berarti oleh orang lain?  Bahkan mungkin tangan ini tak segan memberi lagi. Apalagi tangan Tuhan yang Maha Kaya, setelah kita syukuri benar-benar nikmat yang ada, amat pasti Ia akan menurunkan lebih banyak lagi anugrahnya.
Kata orang bijak, hidup memang bukan seperti jalan tol. Ia tidak cuma lurus dengan aspal  mulus tanpa lampu lalu lintas. Ada jalan panjang yang harus ditapak dengan satu-satu langkah yang mungkin jika ditempuh dengan berlari hanya akan membuat kaki terkilir. Ada banyak kerikil dan lubang juga pastinya.
Maka, memang tak ada salahnya melangkah setapak demi setapak. Dengan usaha dan rasa syukur atas hal-hal  yang ada di depan mata. Satu syukur untuk satu tapak. Setelah itu tak akan terasa jalanan ini sudah terlewati bermil-mil jauhnya sampai tujuan itu terlihat. Tanpa harus terkilir karena tiap tapaknya terlewati dengan meninggalkan jejak penuh syukur.
“Alhamdulillah atas nikmat-Mu memberiku kesempatan belajar di sini ya Allah,” doaku kemudian. Tiap malam.
Setelah itu? Berusaha lagi!

Jatinangor, 15 Juni 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cuilan Kisah Masa Bocah (4) : Kebun-kebun Masa Kecil Kami

Ayo, Ceritakan Liburanmu!

Cuilan Kisah Masa Bocah (5) : Aku Sudah Berkepala Dua