Nada Hujan


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh4EjRdU1GqZsAZRuurb3E1jEDsDby5kNGNb8FiCiwbW53E6zQVIQQNveODbnTxolL00qiiMnI3DHOgT9PgeR_-ZwOZnQXoWFehaULiK8BkDSU29HXjRNkz5NM_EmQSExrj6B5AYlMZxtqX/s1600/hujj.jpg

"Rintik hujan itu sendu. Aku menyukainya hingga ke lubuk hati. Kau dengar? Suaranya amat menenangkan. Anginnya sejuk. Semua beban serasa terangkat." Aku bergelung pada badanku, mendekap tanganku yang dingin sedari hujan turun malam tadi.

Ia hanya melirikku sebentar, lalu menatap lagi butir air di kaca jendela. "Kau yakin? Bahkan saat petir menggelegar dan angin bertiup kencang?"

Aku menggangguk. "Tidakkah kau pernah dengar pepatah 'Badai pasti berlalu'? Sekencang apapun badainya, semua akan mereda. Sekeras apapun aral yang kau hadapi, pada akhirnya semua akan membaik. Tinggal bagaimana kau menanggapinya," timpalku.

"Itu judul lagu sayang, bukan pepatah." Ia tertawa kecil. Lalu bersandar manja pada pundakku.

"Maukah kau menjadi rintik hujanku?" tanyaku berbisik padanya.

Ia mengangguk.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cuilan Kisah Masa Bocah (4) : Kebun-kebun Masa Kecil Kami

Ayo, Ceritakan Liburanmu!

Cuilan Kisah Masa Bocah (5) : Aku Sudah Berkepala Dua