Aku Tahu, Alunan Itu Suara Surga!


Tiap kali aku bertanya pada Ayah, “Apakah aku tampan, Ayah?” Ayah akan menjawab, “Ya, anakku.”
“Dari mana ayah tahu? Ayah kan laki-laki? Kurasa laki-laki tak akan tahu bagaimana wajah yang tampan.” Ayah mengelus rambutku pelan. Kepalaku masih bersandar di dadanya, amat terdengar detak jantungnya yang masih berdegup tak kenal lelah. Degup aliran darah orang yang rela berbuat apapun demi keluarganya.
“Ibumu yang bilang. Berkali-kali ia bilang kalau kau adalah laki-laki paling tampan di dunia.” Aku tersenyum senang. Walau kalimat itu sering diucapkan ayah atas balasan jawaban pertanyaanku, nada suara teguh ayah selalu membuatku tenang. Percaya.
Kemudian biasanya aku terdiam lama, menikmati belaian tangan ayah, menghirup aroma khas tubuhnya sehabis mandi. Bukan, bukan aroma sabun batangan murah yang dibelinya di warung kelontong depan rumah. Tapi, aroma tubuh yang menghidupiku sampai saat ini. Tubuh yang amat bertanggung jawab.
Kali ini aku bertanya lebih, “Lalu, bagaimana dengan ayah? Jika aku laki-laki paling tampan, bagaimana dengan Ayah? Bukankah ibu jatuh cinta pada Ayah karena Ayah tampan?”
Aku mendengar ayah hanya tergelak kecil. “Ya, memang. Ibumu jatuh cinta karena Ayah tampan. Dan Ayah jatuh cinta karena kecantikan ibumu. Ayah adalah laki-laki paling tampan di dunia. Pada saat itu. Lalu, ketika kau ada di gendongan Ayah, ibumu tak berhenti mengalirkan airmata, memandang dua laki-laki pujaan hatinya, dan...Ayah mungkin terlihat tua dimatanya. Tak lagi jadi yang paling tampan. Kalah dengan anaknya yang lebih muda.” Ayah dan aku tergelak. Ia menjawil hidungku. Mencubit pipiku.
“Tapi, andai....” kata-kata ayah terhenti. Ia tercekat,”...andai ibumu masih bisa bernapas setelah mengatakan bahwa kau laki-laki paling tampan di dunia, aku yakin...aku yakin selanjutnya ia akan mengatakan bahwa ayah adalah laki-laki paling berharga untuknya. Karena...itulah yang ia bilang ketika ayah melamarnya....”
“Itu yang ia bilang jauh sebelum ia mengatakan Ayahlah laki-laki paling tampan.”
Aku tercenung mendengarnya. Meraba lengan ayah, memeluknya erat. Andai ibu masih disini, mungkin tanganku yang lain akan merangkul lengannya pula. Lengan yang aku tak pernah tahu bagaimana hangatnya.
“Tapi mereka terus mengejekku.”
“Mereka hanya belum mengerti.”
Hening...
Lalu, suara sirine kuat meliputi ruangan. Berdengung-dengung keras, meraung tanpa henti. Aku menutup rapat telinga dengan telapak tangan, tak membiarkan secelah udara pun merangsek liang telinga. Aku menjerit.
BRUKK!!!
Weker berbunyi nyaring. Aku tersentak kaget, buru-buru duduk tegak, menoleh kesana-kemari bingung. Kasur kapuk tipisku sudah tak karuan dengan seprainya. Aku terduduk di lantai. Sepertinya terjatuh dari ranjang. Mengucek-ucek mata sebentar, meraba-raba weker yang masih berbunyi kencang.
TAK. Tanganku menekan tombol off weker. Pukul 5 pagi. Mimpi yang sama.
Mereka hanya belum mengerti.
* * *
Aku berjalan pelan diantara kerumunan hilir-mudik orang-orang. Warga kota besar yang berlari-lari dikejar waktu, dihantui tenggat. Tongkat kayu semeter berpelitur sederhana yang sudah berkawan dekat denganku sepanjang hidup ini terketuk-ketuk didepanku, berusaha membantu memberi jalan. Denting kecil loncengnya berceloteh sepanjang jalan. Seolah berkata, "Hey, ada orang buta! Minggirlah kalian semua! Beri dia jalan!” Atau ketika jalanan tidak rata, “Hey, kawanku yang buta, perhatikan jalanmu! Banyak batu-batu besar disini. Kau bisa terantuk jika tak berhati-hati.”
Hidup selalu luar biasa buatku, termasuk menjadi pengajar tetap di satu-satunya sekolah dasar luar biasa di kotaku. Aku tak menjadi sampah dan tak pula benalu. Tanpa harus bergantung pada yang lain, tanpa harus merepotkan yang lain. Aku merasa diberkati. Aku buta, tapi aku bisa. Puji Tuhan.
Aku masih terus berjalan. Kali ini agak cepat karena hujan mulai turun. Rintik berebut turun satu-satu, membasahi kemeja. Aku sudah rapi jali berpakaian kerja, tapi harus berdiri berdesakan di halte, menunggu bis. Bau segar pagi sudah kalah dengan gumpalan asap rokok dari orang-orang sekitar dan asap jelaga knalpot kendaraan. Pagi yang selalu kotor dan sesak.
“Psst..Dia buta ya?”
Napasku memburu agak cepat. Kepalaku tak menoleh kemanapun, hanya memandang lurus kedepan. Satu-satu kudengar yang lain mulai berbisik.
Buta. Buta. Buta. Kasihan. Kasihan. Kasihan.
Aku tak semenyedihkan itu! Jeritku dalam hati. Kerumunan terdengar makin ramai. Aku tetap diam. Darahku mulai bergolak.
Aku menangis. Berlari-lari pada ayah, mengadu. Tersegak sambil bercerita bahwa teman-teman sekelasku bernyanyi-nyanyi riang, berkeliling, berucap-ucap, “Orang buta! Orang buta! Pakai tongkat! Pakai tongkat!” Mereka tertawa-tawa senang setelahnya. Bergantian merebut tongkatku, mengejek-ejek. “Hey buta, bisa gak lo jalan gak pake tongkat? Ha? Bhuahahaha...” Aku langsung berlari pulang. Terantuk di jalan berkali-kali, menyeruduk apapun. Tak hirau apapun.
“Aku benci mereka! Aku benci orang Islam!”
“Tahukah kau arti amarah, Yos?” Ayah memelukku erat di dadanya. Tadi ia langsung berhambur mendekapku. Aku sesenggukan.
“Amarah adalah bara api yang kau genggam. Lepaskan bara itu. Buang ia jauh-jauh.” Ayah mengusap air mataku.Walau tangisku mulai berhenti, tapi hatiku masih jerih.
Aku berdoa lirih pada alam, mengharap sabar. Menggenggam erat gantungan salib di pangkal tongkat, mengharap bahwa Tuhan pasti mendengar tiap pinta makhluk-Nya, melihat perihku. Ia Maha Tahu.
Mereka hanya belum mengerti.
* * *
Siang dan tak ada terik. Rinai air sudah turun sejak bel pulang sekolah berbunyi. Hujan tak terlalu deras, namun aku tetap berjalan cepat, meraba-raba aspal menghindari lubang. Baju kerjaku mulai kuyup. Aku berlari-lari kecil sepanjang trotoar. Lonceng kecil di pangkal tongkatku bergemerincing.
Kakiku menapak gundukan jalan. Polisi tidur pertama, pikirku. “Lima langkah lagi akan ada masjid di sebelah kanan,” gumamku. Aku berjalan lima langkah, berbelok ke kanan dan memasuki masjid. Sudah hampir tiap hari aku melewati jalan ini. Setidaknya sejak setahun lalu sejak kepindahanku dari kota kelahiranku dulu. Setelah ayah tiada, aku meninggalkan kota itu.
Aku meraba pegangan tangga masjid, satu-satu anak tangga selasar masjid kupijak. Naik perlahan. Masjid terdengar sunyi.
Aku mendudukkan diri di selasar, menoleh ke sekitar. Hanya suara hujan yang terdengar. “Hufff...” Aku menghela napas panjang. Semilir angin hujan selalu membuat segar, apalagi dengan suasana hening seperti ini. Sekarang belum terlalu siang. Mungkin sholat tengah hari bolong itu belum dimulai, batinku. Aku sudah tak sabar merebahkan diri. Mumpung sepi.
Hey, tunggu! Suara darimanakah itu? Aku mendengarnya sayup.
Indahnya...
Kepalaku berputar-putar, mencari sumber suara.
Aku mulai berjalan mengikuti arah datangnya suara. Makin jelas. Bahkan suara berisik hujan pun seolah tak terdengar. Langkahku makin mendekat dan suara indah itu makin terdengar. Makin indah...
Aku berhenti. Tak tahu dimana persis aku berdiri.Tapi tanganku meraba tembok dingin, dan suara itu mengalun dari baliknya. Semoga aku tak terlihat, pikirku.
Tiba-tiba suara indah itu berhenti. Suara hujan pun kembali terdengar jelas di telinga.
“Siapakah disana? Ini shaf untuk wanita. Saf pria ada di depan, Anda bisa melewati pintu depan.” Gawat! Aku ketahuan!
Aku terbirit berlari keluar masjid. Berkali-kali kakiku hampir terpeleset di selasar dan tak peduli berapa jumlah anak tangga depan masjid tadi, aku melompatinya dalam sekali langkah.
BRUKKK!!! Aku tersungkur.
* * *
“Bukankah Anda yang kemarin di balik tembok?” Ia menanyaiku lebih dulu. Ketahuan lagi! Padahal siang itu aku sudah berjalan mengendap-endap, mencoba bersembunyi lagi dibalik tembok, sambil jongkok. Berharap ia tak bisa melihatku. Mungkin tembok itu separuh atasnya dipasang kaca bening, makanya ia tahu kalau aku berdiri disana kemarin, pikirku semalaman tadi. Sungguh, aku tak bisa tidur memikirkan itu. Selain suara indahnya tentunya.
“Kemarin aku hanya ingin berteduh,” aku berkata kecut. Kubayangkan ia berdiri berkacak pinggang didepanku, menatap galak. Aku sudah bersiap ingin melangkah pergi.
“Sekarang tidak sedang hujan. Jika ingin sholat, saf pria bisa lewat pintu di depan sana. Anda bisa berjalan lurus kemudian belok ke kanan.”
“Terima kasih,” jawabku. “Tapi, aku buta. Bisakah kau menuntunku?” Bodohnya aku! Mana ada orang normal berjalan pakai tongkat? Ia pasti tahu aku buta!
Ia tak menjawab. Aku berdiri kikuk.
“Boleh saya pegang tongkat Anda?” Aku menjulurkan pangkal tongkatku padanya. “Anda pegang ujung satunya,” perintahnya. Aku memegang erat ujung tongkat. Tanganku mulai berkeringat. Dingin sekali wanita ini.... Ia memegang pangkal tongkatku.
“Anda Kristiani?” Ia pasti sudah melihat gantungan salib itu di tongkat.
“Ya. Bolehkah aku berada disini?”
Ia menarik tongkatku, berjalan maju. Aku mengikutinya. “Agama Islam adalah agama milik semesta alam. Ia akan melindungi umatnya, juga umat-umat agama lain.” Langkahnya berhenti. Aku pun berhenti. “Anda bebas berada disini, kapanpun. Tapi pastikan bukan untuk tujuan mengotori, merusak, atau mengganggu.” Ia melepas tongkatku.
“Agamaku pun cinta akan kedamaian. Aku janji, dengan nama Yesus, Bapa, dan Roh Kudus.”
“Saya pegang janji Anda.” Ia beranjak pergi.
“Tunggu! Bolehkah aku mendengarmu mengucapkan lagi kata-kata yang kau baca kemarin? Saat aku di balik tembok?”
“Maaf, maksud Anda mengaji? Mendengar saya mengaji?”
“Oh, itukah mengaji? Ya, mungkin itu maksudku.”
“Ya, baiklah. Dengan senang hati. Surat manakah yang ingin Anda dengar?” Aku bepikir bingung. Satu-satunya surat yang kutahu hanya bismilahirohmanirohim dan asalamualaikum. “Apapun,” jawabku.
“In syaa Allah,” jawabnya. Ia berjalan lagi. “Oh ya, Anda bisa duduk di saf paling belakang dekat tirai. Saya akan membacakannya agak keras. Jika tak terdengar, bilang saja.” Aku berterima kasih. Kemudian berjalan cepat mencari barisan paling belakang. Tirai...tirai...Aku menggapai-gapai udara mencari tirai.  Dapat! Langsung aku duduk bersila.
“Aku sudah di barisan paling belakang!” teriakku.
“Ya, saya mendengarnya. Masjid ini kecil dan tirai ini tipis. Anda tak pelu berteriak sekeras itu.” Suaranya berada amat dekat denganku. Mukaku merah padam. Malu sekali.
Bismillaahir Rohmaanir Rohiim... Wa 'asa an takrahu syai'aw wa huwa khairul lakum... wa' asa an tuhibbu syai'aw wa huwa syarrul lakum... wallahu ya'lamu wa antum la ta'lamun...” Ia mulai mengaji. Getar suaranya mengalun merdu, merasuk hening. Indah...sejuk...
“Maaf,” aku menyela, ”Bisakah aku tahu artinya?”
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Surat Al Baqarah ayat 216.”
Aku terhenyak. Mencoba mencerna. “Apakah kau sengaja membacakan ayat itu?”
“Tidak. Saya sedang mencoba menamatkan bacaan Al-Quran. Jadi, surat tadi memang lanjutan surat yang akan saya baca.”
Aku menjentuk-jentukkan pelan kepalaku ke karpet masjid. Bodoh! Bodoh! Kenapa aku bertanya seperti itu? Oh Tuhan, murkalah ia....
“Apa saya menyinggung perasaan Anda? Maaf kalau begitu, tak ada maksud seperti itu.”
“Oh, bukan, bukan! Akulah yang harus minta maaf. Aku...aku tak bermaksud apa-apa.... Hanya bertanya. Emm...ya kau tahu aku tak mengerti bahasa Arab. Jadi hanya penasaran dengan artinya.”
“Ya, tidak apa-apa.”  Ia lalu tertawa kecil.
Apa? Ia tertawa?
“Namaku Stephanus. Boleh tahu namamu?” Aku memberanikan diri bertanya langsung. Mumpung ia sedang tertawa.
“Aunnuri.”
Aunnuri.... 
* * *
Salah seorang muridku pernah bertanya. Awalnya ia terlihat ragu. Duduknya berdekatan dengan meja guru dan aku mendengarnya gelisah. Aku sering bilang pada mereka untuk langsung memanggilku jika ingin bertanya. Yah, aku tak akan bisa melihat mereka walau telunjuknya teracung setinggi langit-langit kelas.
“Pak,” muridku itu berkata pelan. “Ya?” Di luar sedang hujan kecil. Suasana sedikit berisik dengan air hujan yang jatuh dan dingin. Anak-anak yang lain sedang mengerjakan tugas yang aku berikan.
“Bolehkah saya bertanya?”
Aku tersenyum. “Apapun. Silakan,” jawabku.Tak ada gunanya memang walau aku tersenyum. Ia juga buta. Tapi paling tidak nada suara orang dengan senyum ikhlas di wajahnya akan terdengar lebih ramah.
Ia langsung berdiri, berjalan mendekatiku.
“Bapak. Dulu bapak pernah bilang bahwa Tuhan menciptakan tiap makhluknya dengan sempurna. Ia memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan.” Aku mengangguk, menjawab “Ya”.
“Tapi, aku membutuhkan mata dan Tuhan tak memberiku mata.”
Aku menarik napas dalam. Menghembusnya pelan.
“Kau ingat peristiwa kucing minggu lalu?”
“Ya.”
“Siapakah yang mendengar suaranya ketika itu? Saat hujan sedang turun deras?” Aku memancingnya dengan kejadian penyelamatan kucing itu. Tepat saat hujan besar ribut menghantam seng sekolah dan hanya dia—murid yang ada didepanku ini—yang mendengar eongan lemah anak kucing yang terjepit di kerangka kayu loteng. Mengeong-eong sakit dan kedinginan.
Ia tak menjawab.
“Hanya kamu. Hanya kamu yang menyadarinya. Kau tahu kenapa? Karena anugrah pendengaranmu. Dan itulah yang Tuhan berikan padamu....”
“Aku hanya terbiasa mendengar, Pak. Mataku tak lagi berguna. Aku hanya bisa mendengar.”
“Dan hanya kamu yang dipercaya Tuhan mendengarnya, dipilih Tuhan menyelamatkannya.”
Aku meraba-raba ke depan, menggapai rambutnya yang lalu kuelus pelan. Aku tahu itu akan menenangkan, menguatkan. Laiknya yang Ayah lakukan padaku.
“Tapi, mereka tetap meledek.”
“Mereka hanya belum mengerti.”
CTARRR!!!!
Petir besar mengejutkanku. Aku menoleh kaget ke sekeliling. Gereja itu telah sepi. Ibadah minggu sudah usai dan hanya aku yang masih duduk di dalamnya. Bangku kayu panjang paling depan. Ayah adalah pendeta di gereja ini dan gereja inilah tempat berteduhnya. Jadi bagiku sudah biasa berlama-lama di sini.
Aku berjalan pelan ke arah altar. Berlutut bersimpuh mendekapkan tangan, mendongak menatap gelap. Tak dapat kulihat patung Yesus, tapi aku tahu ia memandangku.
“Tuhan, aku ingin penglihatan. Aku ingin bisa melihat. Aku tak kuat jika tiap hari harus diledek teman sekelas. Berilah aku penglihatan, aku mohon...” napasku tersengal menahan tangis. Tangis yang tercekat karena aku tak mau ada yang tahu. Walau aku tahu, dengan hujan sederas ini tak akan ada yang mendengarku.
“Ameenn....” Aku menutup doa.
“Ameennn....”
Aku tersentak kaget. Menoleh ke belakang. Ayah sudah berdiri di belakangku. Tangannya mengelus pelan rambutku. Berkali-kali. Dalam diam. Aku hanya mematung, tertunduk malu.
“Tuhan memberikan apa yang kau butuhkan, bukan apa yang kau inginkan.”
“Tapi, aku membutuhkan mata dan Tuhan tak memberiku mata.”
Ayah menarik napas dalam. Mengembusnya pelan. “Kau ingat peristiwa burung gereja  minggu lalu?”
“Ya.”
“Siapakah yang mendengar suaranya ketika itu? Saat gema lagu pujian memenuhi gereja?” Ayah memancingku dengan kejadian penyelamatan burung gereja kecil itu. Tepat saat nada puji-pujian Tuhan bergaung di langit-langit gereja dan hanya aku—berdiri terjepit diantara jemaat lain—yang mendengar suara lemah anak burung gereja yang terjatuh dari sarangnya. Bercicit sakit.
Aku tak menjawab.
 “Hanya kau. Hanya kau yang menyadarinya. Kau tahu kenapa? Karena anugrah pendengaranmu. Dan itulah yang Tuhan berikan padamu....”
“Aku hanya terbiasa mendengar, Yah. Mataku tak lagi berguna. Aku hanya bisa mendengar.”
“Dan hanya kau yang dipercaya Tuhan mendengarnya, dipilih Tuhan menyelamatkannya.”
Ayah berjalan menjauhiku. Ia menutup jendela gereja. “Mata adalah jendela hati dan laiknya jendela, ada kalanya ia harus ditutup rapat.” Ia berjalan lagi, mengayun tutup daun jendela lain. “Agar tak ada debu yang hilir mudik masuk, mengotori ruang didalamnya atau agar tak ada air yang menerjang masuk kala hujan.”
“Dan jika aku diberi pilihan, aku lebih memilih menutupnya.” Ayah menarik keras kunci jendela yang berkarat, menghentaknya rapat. Bunyi besi pengunci terdengar tajam di gendang telingaku. Bergaung.
* * *
 “Sebenarnya, saat itu aku hanya kagum. Ayat yang amat tegas dan...menohok. Ayat itu sangat...sangat sesuai dengan apa yang aku rasakan. Tak pernah terpikir olehku itu akan mengubahku.” Aku berbicara padanya, berdiri berhadapan. Ia berhasil memergokiku lagi, tadi ketika aku bersembunyi di balik tiang selasar masjid.
“Dan karena itu kini aku sudah berislam.”
“Apa? Benarkah?”
“Dan aku sudah disunat.” Bodoh! Kau tak perlu menyebut bagian yang itu Stephanus.... Oh, Tuhan!
“Alhamdulillah! Allah Maha Pemberi Hidayah,” berulang-ulang ia menyebut kalimat itu. Aku tertawa gembira. Ia pun begitu. Akhirnya, aku mendengar tawa gembiranya!
“Sekarang kau pasti ingin sholat bukan? Sholatlah, tahiyatul masjid. Kau sudah tahu sholat yang itu?” Apa? Ia memanggilku ‘kau’? Akhirnya! Kau tahu, wahai Aunurri? Kata ‘Anda’ terdengar tua buatku.
“Oh ya, sebelumnya aku ingin meminjam Alquranmu. Hanya sekedar ingin memegang. Aku belum punya uang membeli Alquran braille.”
“Aku tak punya Alquran.”
“Alquran biasa saja, tak usah yang braille.”
“Iya, yang biasa maupun braille. Aku tak punya.”
“Ha? Lalu, apa yang kau baca waktu itu? Ayat di Alquran bukan?”
“Ya. Tapi, aku menghapalnya. Aku tak bisa membaca Alquran.”
Aku mengangguk-angguk sok paham. “Ya, aku tahu, bahasa Arab memang sulit. Huruf-hurufnya juga terlihat aneh buatku.”
Ia tergelak. “Bukan, bukan masalah tulisannya. Aku tak bisa membaca Alquran, dalam bahasa apapun. Aku sepertimu.”
Aku melongo. Amat..........lama..........sekali.
“Kenapa...”
“Kau tidak pernah bertanya.”
“Bukan, bukan kenapa kau tak pernah bilang. Tapi, dari mana ketika itu kau tahu aku datang? Dan kali ini juga?”
“Oh, itu karena parfummu.”
Parfumku? Oh, Subhanallah! Kau mengingat parfumku?
“Lalu, ketika pertama kali aku kesini, darimana kau tahu kalau aku laki-laki?”
“Menurutku, tak akan ada perempuan yang memakai parfum dengan bau menyengat seperti itu.”
Oh, Tuhan! Penciumannya lebih tajam dibanding pendengaranku!
* * *
Kau tahu? Itu pasti alunan suara dari surga. Alunan suara yang membawaku lebih damai menerima hidup. Ayat-ayat itu. Dan suaranya tentu.
* * * * *

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cuilan Kisah Masa Bocah (4) : Kebun-kebun Masa Kecil Kami

Ayo, Ceritakan Liburanmu!

Cuilan Kisah Masa Bocah (5) : Aku Sudah Berkepala Dua