Namanya Keling


Kami memanggilnya Keling. Orangnya pendiam, kecil, ceking, hanya berbalut kulit legam tanpa daging. Badannya tak pernah berbaju, sekalipun. Jadi rusuknya yang kering tertonton kemana-mana tiap ia berjalan di depan rumah-rumah kami. Bukan seperti bapak-bapak berperut buncit yang berjalan bangga menonjolkan bulat perutnya tanpa baju, Keling selalu berjalan tertunduk. Tapi walaupun selalu menatap tanah saat berjalan, kakinya tak pernah lurus berjalan,  terantuk-antuk. Seringkali sampai terjatuh. Itu karena kakinya pun tak pernah beralas, sekalipun.
Kata orang-orang, Keling tak berpendidikan. Jadi kau tak boleh dekat-dekat dengannya. Orang yang tak bersekolah hanya akan merusak otak. Sekali kau bertukar pikiran dengannya, akal cerdasmu akan langsung mengerut, lapuk mengering.
Rumah kecil Keling yang berdinding papan berdiri diantara rimbun ilalang halaman yang tak pernah dipangkas, persis di depan sekolah. Tinggi gulma-gulma disana bahkan bisa menyembunyikan anak-anak SD yang bertubuh semeter setengah. Kabarnya ada banyak hal aneh disana. Hal-hal seram, juga mistik. Guru-guru di sekolah selalu melarang siswanya bermain di halaman rumah reyot itu. Selain isu hal aneh tadi, contoh buruk orang tak bersekolah jadi alasan lain buat guru-guru itu menjauhkan nama Keling dari ingatan siswa. Orang tak bersekolah akan jadi seperti itu, merana, tak berguna, ucap mereka.  Jadi, tak ada yang pernah menginjak halaman itu, apalagi rumah didalamnya.
Padahal Keling hanya tinggal bersama ibunya, wanita janda renta yang sama kurusnya dengan anak semata wayangnya itu. Kami tak pernah benar-benar melihat wanita malang itu karena sepanjang hari ia hanya berbaring di kasur tuanya, terbatuk-batuk. Ketua RT pernah menjenguk sekali, mengatakan kalau kondisinya memprihatinkan. Tak bergerak dari kasur sama sekali. Ember  penuh pasir untuk menampung dahak bergeletak sepanjang sisi ranjang. Anyir merebak.
Sang ibu dan Keling sendiri tersambung hidupnya dari jasa Keling membantu membelikan orang-orang kampung belanjaan di toko. Tak ada kerjaan lain yang cakap ia lakukan selain menerima suruhan membeli barang-barang sembako itu.
Pernah ia diajari ikut bertukang membangun rumah, namun hanya bertahan tak sampai tiga jam karena badannya ambruk selepas mengangkut tiga sak semen. Lalu pernah juga diminta menjadi pengangkut sampah, tapi baru setengah jalan kereta sampahnya terisi, napasnya sudah memburu. Takut pingsan lagi, warga menyuruhnya berhenti. Jadilah ia kembali disuruh-suruh belanja.
Tapi ingatannya jangan ditanya. Ia dapat mengingat berapapun jumlah barang yang diminta. Jadi jangan khawatir jika ia tak membawa catatan apapun saat belanja atau hanya mengangguk saat disebutkan belanjaan yang harus dibeli. Sepulangnya dari toko belum pernah ada sejarah Keling melewatkan satu jenis barang pun dari daftar belanja.
Sekali waktu aku pernah mengajak Keling berkumpul bersama pemuda-pemuda lain. Memintanya duduk bersama, membicarakan kampung. Akan ada proyek kecil-kecilan dari karang taruna menyambut hari kemerdekaan. Kami semua pemuda-pemuda kampung berkumpul, berdiskusi tentang konsep proyek. Karena Keling pun juga seorang pemuda—walau perawakan tak terurusnya membuat ia tampak lebih tua—aku mengajaknya hadir.
Pemuda-pemuda lain memprotes usulanku mengikutsertakan Keling. Buat apa dia dirapat nanti? Tak akan ada ide dari mulut bisunya. Apalagi dia bukan orang sekolahan. Alasan mereka. Aku bersikeras. Apa salahnya mengajak dia? Bisu pendapat bukan berarti menihilkan peran seseorang bukan? Ia berhak buat ada karena ini negara merdeka dan ia bagian dari kita, argumenku. Masih tak ada yang setuju.
Kemudian ketua karang taruna memberikan izin, dengan syarat ia berada radius minimal lima meter dari yang lain. Aku setuju. Tak apa, toh dari jarak seperti itu ia tetap akan paham isi rapat.
Lalu aku mengajak Keling. Awalnya ia enggan. Tapi aku memaksa. Akhirnya ia mau.
Sesuai kesepakatan, ia meriung di lingkaran rapat paling luar. Pemuda lain tak mau meliriknya, tak mau dekat-dekat. Jadi aku disebelahnya, menemani. Menjelaskan detil jika ada yang tak ia paham.
Tak sekalipun ia mengangguk atau menggeleng jika kutanya apa ada yang tak ia mengerti. Hasilnya rapat berakhir dan Keling langsung berjalan pergi tanpa pamit. Tak berucap sekalipun.
 “Lihat? Apa yang ia sumbang? Kuharap ingatan kuatnya dapat merekam jelas kalau ia tak berguna selama rapat tadi,” umpat pemuda-pemuda lain. Aku tak bisa menjawab. Andaipun ia berbicara tadi, memberikan usul brilian, apa kalian tetap mau mendengarnya? Aku ragu. Orang tanpa sekolah tak akan pernah dapat tempat di pikiran orang-orang picik.
* * *
Dari upah belanja itu Keling biasa mendapat seribu rupiah sekali jalan. Biasanya sehari ada sekitar sepuluh orang yang memakai jasanya. Jika ada yang berbaik hati, kadang juga bisa dua ribu rupiah sekali jalan.
Belum pernah ada yang mengeluh sebenarnya dengan layanan jasa antar Keling. Orang-orang merasa amat tertolong malah. Daripada menyuruh anak-anak mereka yang mata duitan dan pandai menilap uang untuk jajan (uang kembalian sering tak kembali lengkap), lebih baik menyuruh Keling yang polos. Tak mungkin ada uang yang dikorupsinya atau belanjaan yang dibawanya lari. Malah jika si peminta jasanya ternyata tak dirumah, ia menunggu di depan pintu dengan uang kembalian tergenggam erat di tangannya dan belanjaan terjaga di sebelah kakinya. Sampai si empu datang, ia masih berjongkok di depan pintu.  Entah si empu memang sedang keluar atau tertidur di kamar.
Tapi malang sekali hari ini, Keling dimarahi habis-habisan oleh Tante Sorang, ketua panitia masak besar acara kemerdekaan nanti. Karena dianggap tak bisa berkontribusi dalam proyek pemuda kampung, Keling ditugasi membantu membeli belanjaan. Keling yang berjalan terantuk-antuk tanpa alas kaki akhirnya tersandung dan menjatuhkan 100 butir telur ayam pesanan Tante Sorang. Telur ayam untuk makanan warga sekampung.
Tante mencak-mencak sampai satu gang kampung tahu salah besar Keling. Orang-orang tak tega sebenarnya, ingin menyalahkan Tante Sorang juga yang seharusnya sudah tahu bahwa Keling sebaiknya tak disuruh membeli telur karena jalannya tak tentu dan kerap tersandung. Bahaya jika telur-telur itu pecah nanti. Mau pakai apa ia mengganti belanjaan itu?
“Tak perduli! Siapa suruh kau terima saja ketika aku memintamu membeli telur? Harusnya kau yang sadar diri. Kau harus ganti uang warga ini! Semuanya100 ribu!” omel Tante Sorang menggelegar. Keling hanya menunduk. Mulutnya seperti ingin bicara tapi bisu. Kami tak bisa berkata banyak. Umpatan “orang dungu” atau  “susahnya mengajar orang tak bersekolah” beberapa kali disembur Tante Sorang dari jauh.
Ketua RT kami membicarakan ini dalam rapat malam harinya. Meminta warga mencari solusi tentang ganti rugi telur yang pecah tadi. Sebenarnya kami semua sepakat Keling tak perlu menggantinya, tapi Tante Sorang berkoar tak akan bantu memasak jika Keling tak diminta mengganti. Merasa tak pandai memasak makanan enak dalam jumlah banyak, kami kalah suara. Keling harus menggantinya. Jika bukan dengan uang, ia harus mau disuruh apapun tanpa bayar.
Berarti ia harus 100 kali berjalan membeli belanjaan, jika upahnya masih dihitung seribu rupiah per jalan.
* * *
Keling berbalik lagi yang entah sudah keberapa kali ke balai kampung tempat ibu-ibu menyiapkan masakan istimewa perayaan kemerdekaan, membawa-bawa belanjaan sekantong besar. Sudah dua hari ia membayar utangnya—100 kali jalan tanpa upah membeli belanjaan—dan aku tak tahu juga dengan apa ia makan dua hari itu. Jika selama ini penghasilan seharinya yang mungkin sekitar 10 ribu saja pasti tak cukup untuk makan layak ia dan ibunya, apalagi sekarang dengan pemasukan tak ada sama sekali. Tak akan bisa ia barang sebentar mencari seseran kerja. Dari pagi hingga sore bertubi belanjaan yang mengantre dibeli.
Aku menunggunya di pinggir jalan, memanggilnya masuk rumah ketika ia lewat didepanku. Ia mengikuti namun hanya sampai teras karena tak mau masuk. Entah segan atau takut. Kepalanya menggeleng sewaktu kuminta jangan menunggu di luar. Aku mengalah.
Dari rumah, aku mengambil 10 bungkus mi instan, sekilo beras, dan beberapa sembako lain dalam kantong kresek sedang. Aku menyodorkannya pada keling, memintanya membawa untuk ia dan ibunya.
“Ibuku mengajarkan agar tak meminta-minta,” jawabnya pelan.
“Kau tak meminta ini, kan? Aku memberimu,” kataku menjelaskan. Kantong itu hanya dilihatnya sebentar, lalu tanpa diambil sedikitpun, kakinya sudah melangkah mundur, pamit pulang.
“Tunggu! Kalau begitu belikan aku sekilo beras.” Aku memintanya. Kali ini ia mau. Aku memberinya uang dan menunggu. Tak lama kemudian ia kembali, membawa sekilo beras.
Aku menyisihkan setengah kilo untuknya. “Karena aku tak punya uang tunai, beras ini bayaranmu,” kataku kemudian. Ia tak menerimanya.
“Bayaranku hanya seribu. Beras itu hampir tujuh ribu perkilonya,” ucapnya.
Aku membagi dua lagi beras setengah kilo itu. “Seperempat kilo. Hitung-hitunganku harga beras ini sekitar dua ribu. Anggap saja aku membayarmu segitu,” kataku lagi. Ia menerimanya.
Kemudian aku tak melihatnya lagi beberapa hari usai hari itu.
 “Mana dia? Belum lunas hutangnya, kan?” tanya Tante Sorang parau sehabis mencak-mencak lagi memarahi ibu-ibu kampung yang dianggapnya tak becus memasak. Ia masih butuh terigu beberapa kilo. Tapi keling tak kunjung datang sejak pagi. Kemana dia?
Aku pergi menanyakan orang-orang apa mereka melihat keling lalu lalang. Tak ada yang tahu. Kalaupun ada, tak seorangpun bakal sadar karena esok sudah hari kemerdekaan dan semua sibuk menghias rumah.
“Mungkin ia ada di rumahnya,” batinku. Aku beranjak menuju jalan dekat sekolah, tempat rumah keling tegak berdiri. Kuharap ia duduk manis disitu, bersantai sejenak mungkin. Ini sudah malam kemerdekaan, jadi ia harus ikut merayakan ini bersama yang lain.
Tiba-tiba, corong masjid berdengung panjang saat matahari belum terbenam. Aku memasang tajam telinga. Semua warga menghentikan kegiatan. Jika tak karena azan, pasti ada kejadian penting.
Namun belum sempat corong itu bersuara, seorang warga sudah berlari ngeri di jalan kampung entah dari arah mana, berteriak-teriak.
“Keling mati! Keling mati! Ibunya juga sudah mati! Mayatnya membusuk di lantai! Keling dan ibunya mati!”
Aku tak jadi mencari Keling.
Ia sudah merdeka sekarang.
Ternyata, beras waktu itu tak cukup menahan lapar perut mereka.
* * * * *

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cuilan Kisah Masa Bocah (4) : Kebun-kebun Masa Kecil Kami

Ayo, Ceritakan Liburanmu!

Cuilan Kisah Masa Bocah (5) : Aku Sudah Berkepala Dua