Tembok Besar Itu Bernama Takut

Memulai langkah pertama adalah ibarat menembus tembok batu yang kita sama sekali tak tahu gerangan yang tersembunyi dibaliknya. Ibarat menulis, tembok besar itu akan selalu ada, menghadang di awal kata.

Aku bukan orang pemberani. Setidaknya itu yang terasa saat akan memulai sesuatu yang asing, yang baru, yang aku tak tahu sedikitpun tentangnya. Di luar semua itu aku bahkan tak bisa membayangkan kira-kira seperti apa rasanya.

Seorang bijak pernah berkata, hal terpenting untuk memulai sesuatu adalah langkah pertama. Tanpa itu kau tak akan menemukan langkah kedua, ketiga, apalagi keseribu. Namun seperti perkataan pengecut-pengecut di luar sana pun, langkah pertama tidaklah ringan. Ada semacam batu berat yang mengganjal di atasnya, begitu kata mereka. Tak semudah kata-katamu wahai si bijak, begitu lagi kata mereka.

Dan aku mungkin salah satu dari si pengecut itu.

Ada semacam ketakutan tentang bagaimana hal-hal baru itu—yang akan kita lewati—akan berdampak pada diri kita. Akankah itu akan menyakitkan? Akan menyeramkan? Akan membuat trauma? Ya, setiap orang mendambakan kenyamanan, pergi jauh dari ketakutan. Pikiran ini yang menghantuiku tiap saat. Tiap saat aku mencoba hal baru.

Padahal jika saja aku paham bahwa tak ada kemajuan dalam diam—diammnya kenyamanan—maka aku mungkin sudah mendaki puncak Everest.

Aku mempelajari banyak hal baru yang belum pernah kualami. Setidaknya dalam 25 tahun lebih napasku memberi hidup. Aku belajar mengendarai sepeda sampai terluka di sana sini. Aku belajar mengendarai motor dengan menahan malu (karena baru mencobanya saat di bangku kuliah saat anak-anak sekarang sudah berseliweran membawa motor dengan seragam SMP). Aku belajar renang di usia 25 tahun dengan berpura-pura cuek bahwa aku tak peduli akan pandangan mereka melihat pria dewasa seusiaku masih tak dapat mengapung di atas air. Menggelikan.

Lalu, apa yang bisa kupelajari dari itu? Bukan, bukan tentang naik sepedanya, naik motornya, atau berenangnya. Tapi benang merah dari itu semua.

Yaitu mengalahkan rasa takut. Dan rasa malu.

Dari semua itu, rasa takutlah yang membuat tembok besar didepanku bertambah besar dan bahkan semakin tinggi. Rasa takutlah yang membuat bahkan tangan-tanganku tak mampu mencuil sedikit bata yang membangunnya. Rasa takut akan, ”Apa yang akan menimpaku jika aku melaluinya? Apa yang sebenarnya ada di balik tembok?”

“Aku tak tahu!” teriakku. Maka, aku akan semakin takut.

Dan aku tak akan pernah bisa melakukan hal baru tanpa melewatinya, tanpa merasakannya. Memang akan sedikit perih, sedikit kepanikan, dan banyak perjuangan. Tapi yakinlah dengan usaha dan doa, semua itu akan indah. Sampai-sampai kau akan lupa pedihnya rasa sakit, begitu kata saydinna Ali bin Abi Thalib.

Maka Randi, berjuang terus, semangat, dan pantang menyerah untuk menyongsong hari baru. Tetap bahagia dan berdoa.

Semoga Allah akan terus menjagaku. Menarikku sekencang-kencangnya saat aku mulai tergelincir. Aminnn.


***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cuilan Kisah Masa Bocah (4) : Kebun-kebun Masa Kecil Kami

Ayo, Ceritakan Liburanmu!

Cuilan Kisah Masa Bocah (5) : Aku Sudah Berkepala Dua