Gores-gores Asa

Neskya yang duduk di bangku samping mobil masih berkutat dengan buku gambarnya. Coretan pensil hitam dengan beragam ketebalan warna tercoret membentuk pemandangan indah di atas kertas. Entahlah, semua yang digambar Neskya terlihat indah oleh siapapun, walau hanya dari goresan karbon hitam.

Jalanan didepanku masih panjang dan deretan kendaraan yang tak kunjung maju ini pun masih sama panjangnya dengan bentangan aspal jalan. Aku hanya melihat lurus kedepan, melepaskan tangan dari setir mobil, berpangku tangan.

“Yakin kau cuma memilih pensil-pensil ini?” di toko buku waktu itu, sekali lagi kuperlihatkan lima macam pensil hitam berbagai jenis—A, B, HB, 2B, 3B—kedepannya dan ia sekali lagi mengangguk. Pensil-pensil itu kumasukkan lagi ke keranjang belanja.

“Ayah mau menggambar juga?” Neskya bertanya padaku ketika ternyata dikeranjang belanja juga tetap kuletakkan pensil 12 warna. Aku mengangguk, tersenyum. Dalam hati yang kuinginkan hanya agar ia tahu apa itu warna selain hitam dan putih. Walau mungkin tak ada gunanya karena buta warna di matanya total.

 “Apa yang kau gambar, Sayang?” tanyaku sekarang, memiringkan tubuh sedikit melihat buku gambarnya. Coretan panjang-panjang dan rapi itu jelas menunjukkan gambar jalan. Tapi mengapa begitu meriah?

“Ini jalanan, Ayah.” Ia menyodorkan gambarnya ke depanku, menunjuk goresan panjang hitam dengan pangkal pensilnya, “Dan ini mobil-mobil yang sedang menunggu macet.”

Aku mengangguk-angguk. “Lalu, apa mereka sedang mengumpat? Marah-marah karena macet tak kunjung selesai?” Aku menunjuk coretan-coretan lain yang terlihat seperti orang. Orang-orang yang mencodongkan kepala keluar jendela mobil.

Neskya menggeleng. “Bukan, Ayah. Mereka membuka jendela mobil untuk saling menyapa. Daripada bosan menunggu, lebih baik mencari teman untuk bertukar cerita, bukan? Mereka berpikir, mungkin macet ini dikarenakan ada bebek-bebek yang menyeberang jalan atau ada orangtua yang harus dibantu menyeberang. Mungkin juga ada yang tiba-tiba kehabisan bensin sehingga mogok di tengah jalan. Hal-hal yang tak bisa kita tebak.”

Aku terdiam mendengarnya.

“Dia amat paham apa itu asa. Tuhan tak salah mengirimnya padamu.” Ibu berkata waktu itu, ketika aku memutuskan akan berhenti bekerja ditempatku sekarang. Setelah jatah cuti selama setahun ini aku ambil, surat pengunduran diri itu akan segera kulayangkan.

Ibu memperlihatkan lagi gambar yang dibuat Neskya. Entah kapan gambar itu dibuat.

“Ini gambar yang ia buat saat tahu ayahnya akan mengundurkan diri bekerja. Lihatlah lagi.” Aku mengambil gambar Neskya, melihatnya lagi, lebih lama. Gambar itu kumpulan orang yang saling berangkul tersenyum, dan menyapa. Dengan wajah-wajah gembira yang saling menatap. Ditengah-tengahnya jelas ada gambarku. Ada kata “AYAH” diatas kepalanya. Aku dengan sayap dipunggung.

“Ibu yakin sekali pilihanmu amat tepat ketika akan mengadopsi dia. Neskya akan jadi teman ibu selama kamu tak ada.

“Tapi, ibu tak tahu dengan keputusanmu sekarang. Kamu yakin akan memilih tak berkantor disana lagi?”

Aku menatap ibu lama.

“Ayah suka gambarku yang ini?” tanya Neskya membuyarkan lamunanku.

Aku menolehnya. “Pastinya. Ayah suka semua gambar-gambarmu,” aku menggosok-gosok pelan rambut lurusnya, mengecupnya. Neskya tersenyum senang dan setelah itu ia merobek kertas yang digambar tadi lalu menyimpannya dalam koper kecil kesayangannya. Begitulah, semua gambarnya yang aku suka akan ia simpan di koper itu. Semua.

“Ini gambar yang keberapa, Sayang?” Aku bertanya saat Neskya sudah bersiap lagi menggambar. Ia menggeleng.

“Aku tak pernah menghitungnya, Ayah. Atau mungkin Ayah ingat ini gambar Neskya yang keberapa?”

Aku tak menjawab. Antrian macet mulai bergerak lambat dan kakiku langsung sigap memainkan pedal gas dan kopling. Perlahan. Lalu mobil-mobil didepan satu persatu berhenti lagi. Macet belum usai.

“Ada apa sih di depan, Pak?” Aku bertanya pada pejalan kaki di trotoar yang berjalan berlawanan arah dengan kendaraan-kendaraan yang terjebak macet. Satu-dua pengendara juga melakukan hal yang sama. Macet kali ini agak lain, terlalu lama untuk ukuran jalan ke Puncak di hari kerja.

“Demo, Pak.”

Aku ber-ooo pelan.

“Demo itu yang suka bawa-bawa spanduk ya, Yah?” tanya Neskya kemudian. Aku mengangguk. Termenung sebentar, kemudian Neskya sudah sibuk menggores-gores kertas putih baru buku gambar. Aku hanya melihatnya.

“Hari ini jatah terakhir cuti kamu, kan? Bagaimana?” Ibu akhirnya menanyakan lagi hal itu, tadi pagi. Aku sudah bersiap mengantar bunga-bunga pesanan pelanggan ke Bandung. Colt buntung tua milik ayah dulu sudah kututup baknya dengan plastik tebal transparan agar bunga-bunga elok ini tak terkena hujan sewaktu-waktu. Neskya sudah duduk manis didalam mobil.

“Masih sama, Bu.” Aku menjawab pelan. Tak ingin sebenarnya Neskya mendengar, namun dengan jarak sedekat ini tak mungkin ia tak tahu pembicaraan ibu dan aku.

“Biarlah usaha jual bunga ayahmu ini ibu yang urus. Masa depanmu akan lebih baik dikantor itu. Itu kan cita-citamu dulu? Anggota dewan? Memperjuangkan hak rakyat kecil? Apa yang bisa kamu ubah dari hanya berjualan bunga?”

“Tapi ini masih lebih baik dari pada tiap hari yang kita lihat hanya uang-uang tak jelas berseliweran dari meja kantor satu ke meja kantor yang lain.”

Ibu diam sejenak. “Ayahmu dulu pejuang. Selama itu, tak pernah sekalipun ia berprasangka buruk bahwa Tuhan tak akan memberikan kemerdekaan buat negara ini. Perjuangan tanpa kenal lelah. Itu yang ayahmu pegang,” kata-kata ibu kemudian.

“Tapi apa ayah sendiri disana?”

Ibu mengernyitkan dahi. Menggeleng.

“Perjuangan ayah juga perjuangan yang lain, Ibu. Aku tak bisa seorang diri untuk jujur. Aku bisa dikeroyok disana. Bahkan Rasul pun bertemankan sahabat-sahabatnya untuk menegakkan kalimat Tuhan. Tak ada gunanya menjadi setetes air di padang pasir. Sia-sia Bu.”

Ibu menatapku lama. Aku tak melanjutkan pembicaraan lagi, langsung mencium tangan ibu lalu pamit mengantar pesanan bunga. Neskya melambaikan tangan mungilnya dan ibu membalasnya dengan senyuman. Aku tahu senyumnya rapuh.

Di tengah macet yang sumpek ini, aku memiringkan tubuh lagi sedikit, melihat gambar baru Neskya. “Apa yang kamu gambar sekarang?”

“Ini orang lagi demo. Bawa-bawa spanduk sama alat-alat musik. Sambil nyanyi, Yah.”
Aku tersenyum geli mendengarnya. Darimana pula orang demo sambil menyanyi? Rata-rata kalau bukan teriak-teriak di corong speker yang belum tentu didengar pemerintah ya aksi teatrikal yang tambah tidak mungkin dilirik jajaran kabinet. Kecuali ada dari kabinet itu yang jebolan teater.

“Kenapa mereka ngumpulnya di pinggir jalan?” tanyaku lagi.

“Biar gak bikin macet, Yah. Daripada ditengah jalan, bikin macet. Mending ditrotoarnya aja. Terus biar gak bikin pusing, sambil nyanyi demonya. Biar orang-orang disepanjang jalan jadi suka, gak keganggu. Nah, kalau orang-orang sudah suka sama demonya, makin banyak yang dukung. Jadi pemerintah bakalan merhatiin keluhan mereka.”

Aku terdiam lagi mendengarnya. Lebih lama.

“Neskya, antara hitam dan putih, mana yang lebih kamu suka?” Tiba-tiba saja pikiranku melontarkan pertanyaan ini. Pasti ia menjawab putih. Walau dunia hanya terlihat hitam dan putih dimatanya, kupikir hati dan pikirannya teramat putih selalu. Hati yang suci.

“Putih.”

Aku tersenyum. Seperti dugaanku. “Warna yang suci, bukan?” tanyaku. Aku yakin sekali jawabannya tak akan “hitam”.

“Dan hitam juga, Yah,” lanjutnya.

Aku menggeser duduk, menoleh heran. “Keduanya? Mengapa?”

“Karena jika tak ada putih, hitam tak akan terlihat.”

Aku tercenung. Lama.

Begitukah?

Berhitung waktu, kutekan nomer telepon rumah. Ibu mengangkat dari seberang sana.

“Ya?”

“Aku akan kembali bekerja, Bu. Kita memang tak bisa sendiri untuk jujur. Tapi walau begitu, tak ada salahnya berjuang sendiri dulu. Harus ada yang memulai kurasa. Harus ada putih ditiap gelapnya hitam. Aku akan terus berjuang. Untuk rakyat, untuk negara yang lebih baik.”

Ibu tak menjawab. Hanya kalimat syukurnya yang terdengar berbisik, berkali-kali.

Lalu, kami terdiam lama.

“Ibu tak salah bukan? Dia amat paham apa itu asa. Akan selalu ada sisi baik ditiap goresan hidup makhluk-makhluk Tuhan,” kata-kata ibu akhirnya.

Aku mengangguk mantap. Perjuangan ini belum berujung.
* * * * *

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cuilan Kisah Masa Bocah (4) : Kebun-kebun Masa Kecil Kami

Ayo, Ceritakan Liburanmu!

Cuilan Kisah Masa Bocah (5) : Aku Sudah Berkepala Dua