Kearifan Lokal di Kampung Naga


Kampung Naga dari atas lembah.

Awalnya sempat mengira bahwa perkampungan tradisional yang akan kami kunjungi ini adalah perkampungan masyarakat Baduy yang asli pedalaman tanah Parahyangan. Namun setelah melihat sendiri, bukan orang-orang Baduy yang ada di Kampung Naga ini. Tapi mungkin jika dilihat sepintas dari bentuk rumahnya, memang mirip-mirip Baduy.

Nama pedeasaan kecil ini adalah Kampung Naga. Wilayah Kampung Naga masuk daerah kabupaten Tasikmalaya. Kampung ini secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Tasikmalaya, Jawa Barat. Letak persisnya tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota garut dengan Tasik.

Kami disambut seorang pemandu bernama Pak Atang. Sebenarnya terserah kita untuk meminta jasa pemandu atau berkeliling kampung sendiri. Toh disana hanya diminta uang parkir kendaraan. Tak ada tiket masuk. Semua bebas masuk asal ada izin dari tetua disana. Intinya semua yang berniat wisata budaya dan alam bebas masuk. Asal tetap menjaga sopan-santun. Maklum perkampungan macam ini penuh dengan tabu. Kode etiknya lebih ketat dibanding masyarakat kota yang cenderung individual.

Pak Atang bukan tetua di Kampung Naga, namun termasuk senior. Jadi lewat Pak Atang saja atau pemandu lain sudah merupakan izin masuk tak tertulis bagi siapa saja yang bertandang. Semua pemandu disini adalah asli warga Kampung Naga.

“Jadi, mau pakai bahasa Sunda atau Indonesia?” Pak Atang memberi pilihan. Kami saling pandang karena saya dan seorang teman lagi asli dari Sumatra. Lalu serempak menjawab Indonesia sambil tertawa malu karena kemampuan bahasa sunda kami yang belum selevel sunda advanced walau sudah lama sebelumnya pernah tinggal di Bandung.

“Tak apa,” kata Pak Atang, “karena pengunjung disini memang berasal dari seluruh dunia. Maka kami pun terpaksa belajar bahasa mereka.”

Terpaksa??? Ckckck... Kata yang aneh, disaat banyak dari kami mati-matian belajar bahasa asing. Apalagi semua pemandu disana dari pengakuan Pak Atang lihai bercuap-cuap Inggris, Belanda, Jerman, bahkan Korea. Haduh, penggila K-Pop di Indonesia pasti langsung koprol sambil bilang “Wowww!!!

Perjalanan menuruni anak tangga ke Kampung Naga.
“Ayo!” ajak Pak Atang memulai pandunya. Ia mengajak kami menuruni anak-anak tangga dari batuan kali. Anak-anak tangganya landai jadi tak terlalu capek menuruninya. “Tapi jumlahnya ratusan. Masih panjang dibawah. Nanti akan terasa kalau sudah naik lagi,” kata Pak Atang seperti tahu apa yang ada dibenak kami. Kami hanya tertawa remeh. Kecil. Berapa banyak sih?

Lalu tawa kami perlahan hilang karena setelah belokan pertama diantara hutan rindang di kiri kanan, didepan sudah mengular anak-anak tangga lain berjumlah ratusan. Jauh kebawah. Pak Atang hanya tersenyum-senyum tanda menang. Tapi seperti hendak memberi alasan kuat kenapa kampung ini terletak di lembah, ia berhenti di tengah tangga.

“Lihat,” tangannya membentang. Ia menghadap kami dan dibelakangnya membentang pemandangan hijau persawahan dan sungai berbatu-batu besar. Sawah-sawah yang memang dibuat berundak dari atas bukit ke lembah perkampungan membuat sejuk mata. Lalu sungai yang walau warnanya coklat, tapi alirannya bergemericik menenangkan membuat hati ini terenyuh. Pemandangan yang menakjubkan. Huff... Jarang-jarang melihat ini di padatnya kota.

“Inilah Kampung Naga. Pintu masuk Anda semua tadi bikinan pemda setempat. Hanya pemandu awal untuk pengunjung. Tapi disinilah kearifan lokal terjaga. Di Kampung Naga,” ucap Pak Atang. Kami makin berdecak lalu sibuk potret sana-potret sini.



Pemandangan Kampung Naga dari atas lembah.
Sambil tetap berjalan Pak Atang banyak bercerita. “Disini semua serba tradisional. Mulai dari tak adanya listrik komersil PLN, sampai masih dipakainya kayu bakar dan minyak tanah sebagai bahan bakar kompor. Alami. Dan berdasarkan penelitian ilmuwan Australia waktu itu, beras yang dimasak dengan cara tradisonal ini bisa tahan sampai 4 hari tanpa dipanaskan lagi.” Pak Atang bercerita. “Tapi kami tak bisa membuktikannya karena nasi yang dimasak disini selalu habis dalam sehari.”  Kami tergelak.

“Nanti ada barisan rumah tradisional. Tempat itu bagus sekali dijadikan foto,” tambah Pak Atang melihat kami yang tak bisa lepas dari jepretan kamera. Kami makin tak sabar. Yang mana sih?

“Yang itu.” Tunjuknya pada deretan atap hitam dari ijuk yang berjejer rapi searah. “Rumah-rumah disini semuanya dibangun searah. Semua rumah kalau tak menghadap utara ya ke selatan.”

Saya memperhatikan semua atap ijuk hitam yang terlihat. Semuanya berbaris rapi membujur. Ternyata maksud arah itu agar setiap harinya semua bagian atap terjemur sinar matahari. Jikalau pagi maka atap yang mengarah ke timur akan terjemur. Sebaliknya saat sore. Jadi dengan cara itu ijuk bisa bertahan bahkan sampai 40 tahun. “Dan disini tak ada rumah yang saling membelakangi. Semua pintu depan saling berhadapan agar kita saling tahu kondisi tetangga. Saat ada yang sakit, tetangga didepan tahu. Saat kita senang pun, tetangga lain akan ikut merasakannya.” Kami mengangguk paham. Kebersamaan yang jarang ada di perkotaan saat pagar-pagar tinggi menjulang di tiap halaman rumah.


Barisan rumah tradisiomal Kampung Naga. Semuanya searah, kalau tidak ke selatan ya ke utara. (Pak Atang yang paling kanan). 

Kami diajak memasuki salah satu rumah warga. Tak ada pintu belakang karena menurut filosofinya setiap yang memasuki rumah harus “datang tampak muka, pulang tampak punggung”. Yang ada hanya pintu depan.

“Disini tak ada kursi. Apalagi sofa karena kita percaya dengan konsep duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.” Di ruang tamu hanya terhampar tikar bambu dan beberapa hiasan dinding dari kayu. Adem sekali. Lantainya pun kayu. Lalu ketika menyambangi dapur, lantainya tak lagi kayu, tapi langsung dipan bambu. Tujuannya agar jika ada percikan kotor dari kegiatan memasak, lantai mudah dibersihkan.

“Tau gempa Tasik beberapa waktu lalu? Alhamdulillah kami disini tak terkena dampak serius. Rumah-rumah disini terbukti tahan guncangan.” Kami melongok ke pondasi rumah yang berpanggung. Bagian bawahnya berupa pilar-pilar batu  sekitar setengah meter diatas tanah yang tertancap tak terlalu dalam ke tanah. Diatasnya barulah lantai rumah dilekatkan tanpa pasak di atas pilar batu. Jadi berdasarkan penelitian juga, goncangan akan teredam dengan struktur itu.

Dapur di salah satu rumah.
“Rumah-rumah disini dapat meredam panas saat terik dan menghangatkan penghuninya saat dingin. Begitu kata peneliti dari ITB waktu itu,” ucap Pak Atang bangga. Kami makin berdecak. Banyak juga peneliti yang sudah kemari ternyata. Hal ini diamini oleh Pak Atang. Peneliti silih berganti berdatangan, mulai dari peneliti Indonesia yang berasal dari berbagai universitas sampai peneliti luar negeri. Termasuk penelitian tentang sumber air yang penduduk gunakan sehari-hari.

Konon sumber air ini belum pernah kering, mengucur 24 jam penuh sehari tanpa susut saat kemarau sekalipun. Bahkan bisa diminum tanpa dimasak terlebih dulu.

Inilah kearifan lokal lainnya dalam memilih sumber mata air dimana sumber mata air yang baik itu adalah yang alirannya konstan selama minimal 6 bulan kedepan dan tak susut saat kemarau. “Patokannya diameter aliran air yang keluar minimal selebar jempol dan telunjuk orang dewasa bila ujungnya ditemukan,” jelas Pak Atang sambil membentuk huruf “O” dengan jempol dan telunjuknya. Ya, semacam penelitian tradisional.


Sumber mata airnya. Mengucur 24 jam dan bisa langsung diminum, lho!
Walau tak berlistrik, ternyata tetap ada tv di beberapa rumah. Darimana sumber tenaganya? “Dari sel surya dan aki,” jawab Pak Atang sambil menunjuk satu lempeng sel surya berukuran semeter persegi di salah satu atap rumah. Sumbangan salah satu peneliti. Disana tak mungkin mengandalkan listrik komersial karena kondisi rumah yang rapat dan terbuat dari bahan mudah terbakar. PLTA pun pernah dicetuskan akan dibantu pembuatannya oleh Belanda, namun tak kunjung ada.

Di sekitar kami penduduk melakukan aktifitasnya seperti biasa. Tak merasa terganggu. Beberapa anak berlarian sambil cekikikan. Seperti di film-film tentang warga perkampungan yang melihat orang luar kampung.  “Berarti anak-anak disini punya sekolah sendiri?” tanya saya. Pak atang menggeleng. “Anak-anak tetap bersekolah keluar kampung karena ilmu harus dikejar sampai ke negeri Cina. Seperti kepercayaan kami yang semuanya muslim disini. Tak ada yang benar-benar tak keluar kampung. Berbelanja sebagian bahan pokok pun juga kami lakukan keluar kampung.”

Aku mengangguk. “Lalu bagaimana pilgub nanti Pak? Warga disini ikut memlilih?” tanyaku lagi, mengingat 24 Februari nanti Jawa Barat akan menggelar pilgub dan melihat suasana disini yang sepi dari spanduk kampanye.

“Iya. Kami ikut memilih, tapi tidak ikut-ikutan,”  jawabnya diplomatis. Aku tersenyum mendengarnya. Dari cerita pak atang pun dulu ketika orde baru, Golkar pernah meminta izin untuk memasang spanduknya. Tetua disana mengizinkan tapi dengan syarat dipasangnya juga spanduk parpol lain. Padahal saat itu hegemoni golkar amat kuat. Mereka pun tak jadi memasang spanduk di kampung naga. Begitupun waktu pemilu dengan 48 parpol. Bayangkan, berapa banyak spanduk akan bertebaran disana?

Perjalanan dengan pak atang berlanjut ke tempat penumbukan padi dengan alu dan lumpang. “Semua tradisional disini. Dari hulu ke hilir. Tak ada pupuk buatan dan penghancuran hama.” Ia melihatkan bulir-bulir padi yang gemuk. Padi organik kalau orang kota bilang. Varietas padinya adalah padi Jamblang.

Persawahan di Kampung Naga.
Tak ada istilah hama atau gulma disini karena kepercayaan masyarakatnya bahwa semua ciptaan Allah bermanfaat, hanya kita yang salah mengelolanya. Tak ada pemusnah wereng atau tikus. Hanya jarak waktu tanam padi yang diatur. Saat banyak tikus atau wereng, padi tak ditanam karena dengan itu—artinya tak ada makanan—mereka akan pergi dengan sendirinya. Setelah tak ada hewan-hewan itu, penanaman dimulai. Dengan pupuk yang juga alami dari kotoran hewan. Terbukti padi disini berdasarkan—lagi-lagi—penelitian, baik untuk diabetes.

Berapakah jumlah penduduk kampung naga? Apa mereka boleh menikah dengan orang luar kampung? Nah, itu yang jadi pertanyaan kami semua karena teringat cerita seorang teman yang mengatakan kalau kampung tradisional biasanya memiliki jumlah penduduk tetap. Kalau ada yang menikah dengan orang luar kampung, harus keluar dari kampung.

“Semua 300-an orang. Itu bertambah tiap waktu. Dan tak ada istilah naga dalam atau naga luar. Semua—baik yang menetap atau tinggal di luar—adalah tetap warga kampung naga. Hanya jika mereka memilih tinggal disini, harus tahu bahwa lahan untuk rumah hanya sebatas 1,5 hektar disini. Tak boleh ditambah karena secara adat sudah diatur mana lahan untuk rumah, lahan pertanian, dan lahan alam untuk serapan air. Untuk kelestarian alam. Tidak asal bangun,” jawab pak atang, seperti menyentil kami.

Selama melanjutkan perjalanan, saya masih memandang sungai yang berair coklat. Agak aneh mengingat ini kampung tradisional. Lain halnya jika ini terjadi di kota yang airnya memang coklat karena limbah.

“Dulu tak seperti ini. Bening sekali, sampai permukaannya tampak walau musim penghujan. Sekarang saat hutan di hulu sungai banyak yang gundul, lumpur jadi mudah terangkat. Akhirnya seperti ini,” keluh pak atang.  Saya jadi teringat kalau sekarang musim hujan. Sungai mana yang tak coklat saat hujan? Tapi mendengar cerita pak atang tentang beningnya sungai saat musim hujan? Saya jadi yakin perusakan hutan makin menggiat bahkan sampai sini.

“Kalau kata kakek saya, salah besar orang sekarang bergembar-gembor tentang bencana alam. Ini bukan bencana alam karena alam punya keseimbangan sendiri. Ini adalah bencana akhlak. Hutan untuk serapan air malah dijadikan lahan rumah. Ya, seperti inilah jadinya. Untungnya disini masih ada hutan larangan. Hutan yang hanya hanya boleh dimanfaatkan seperlunya tanpa serakah,” katanya sambil menunjuk lurus ke seberang sungai. Ke kumpulan pepohonan rindang nan hijau. Saya hanya teringat pilu pada bencana banjir di Indonesia.

Bencana akhlak.

Tak terasa waktu pun bergulir siang. Matahari makin terik. Kami akhirnya memutuskan pulang. Di jalan pulang, buku tamu sudah menunggu untuk diisi. “Silakan isi di buku tamu lokal,” kata pak atang menyerahkan buku tamu. Di depannya tertulis “buku tamu lokal”. Kami pun melirik “guest book luar negeri” disebelahnya. Penasaran.

Ternyata daftar panjang disana penuh dengan orang-orang dari berbagai negara. “Kebanyakan dari Belanda,” kata pak atang. Hmm... Orang-orang luar benua sana bahkan lebih dulu datang dibanding kami yang jelas-jelas satu negara.

Perjalanan pulang pun ternyata memang seperti yang dibilang pak atang di awal tadi. Capek! Tak tahulah berapa ratus anak tangga, rasanya tak habis-habis. Seperti naik tanga ke kuil shaolin. Kecil-kecil dan banyak. Benar-benar membuat lutut lemas. Fiuh! Ada 400an anak tangga katanya. Entahlah, tak saya hitung.

Perjuangan berpeluh itu pun terbayar lagi dengan melihat untuk terakhir kalinya pemandangan hijau asri di bawah. Sawah yang berundak dan gemericik sungai. Lalu deretan atap ijuk rumah tradisional. Amboi... Angin pun semilir, menghilangkan keringat di badan.

Disekitar kami mulai banyak orang hilir mudik berkunjung. Ternyata pagi tadi kami datang terlalu cepat. Beberapa orang-orang kaukasia atau yang biasa dipanggil bule terlihat lalu-lalang. Pemandu-pemandu pun berceloteh lancar dalam bahasa Inggris .

Oh iya? Kenapa namanya Kampung Naga? Tak ada yang tahu pasti dan tak ada hubungan dengan legenda Naga seperti di mitos. Naga disini hanya nama. Tak lebih. Mungkin seperti singa pada Singaparna dan Singapura yang jelas-jelas tak pernah memiliki habitat alami singa seperti di Afrika. Tapi ada juga yang bilang asal katanya dari “Dina” dan “Gawir”, bahasa Sunda yang artinya “di lereng” merujuk pada letak kampung ini yang dilereng bukit. Lama kelamaan disingkat menjadi Naga.

Di gerbang keluar kami sempatkan berfoto di depan tugu Kujang raksasa yang berdiri gagah disana. Kujang adalah senjata tradisional sunda.


Bye-bye Kampung Naga!

Cheerrs!

Sampai jumpa Kampung Naga! Semoga tetap arif dan lestari sampai kapanpun.

* * *

Sumber foto : Pribadi dan Wikipedia (foto yang pertama).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cuilan Kisah Masa Bocah (4) : Kebun-kebun Masa Kecil Kami

Ayo, Ceritakan Liburanmu!

Cuilan Kisah Masa Bocah (5) : Aku Sudah Berkepala Dua