Cuilan Kisah Masa Bocah (1) : Ihh, Tahi Lalatmu Banyak...
Seringkali
kenangan-kenangan kecil dapat jadi peneman sunyi hati, peneguh iman,
dan penguat juang. Masa inilah satu penentu penting pribadi kita
kini. Bertumbuk-tumbuk memori baru datang, janganlah lekangkan
kisah-kisah kanak kita. Beranjak dari lampaulah, maka saat ini jadi
lebih berarti....
* * *
Kala
es de, aku mengira-ngira bagaimana tahi lalat terbentuk. Apa benar
itu dari kotoran lalat? Lalat buang hajat, lalu tahinya mengeras?
“Kayaknya
iya deh, Ran,” jawab teman sebangkuku di kelas. Kami melirik teman
lain yang wajah dan tangannya dipenuhi tahi lalat, lalu tertawa
cekikikan.
Memang
bukan jawaban yang ilmiah.
Hemm...tahi
lalat? Menurut dr. Gunawan Budisantoso, Sp.KK, dari RS Mitra Keluarga
Kelapa Gading, tahi lalat sebetulnya merupakan tanda lahir berupa
satu massa yang umumnya berwarna cokelat atau hitam. Ada juga tahi
lalat yang warnanya sewarna kulit. Tahi lalat yang berwarna cokelat
atau hitam mengindikasikan terjadinya penumpukkan pigmen.
Nah,
jawaban ilmiahnya seperti itu.
Dulu
di suatu sore yang larut, nenek pernah berkisah bahwa tiap tahi lalat
di tubuh punya arti untuk kehidupan kita. Aku yang masih amat kecil
hanya mengangguk-angguk sok mengerti. Lalu, Mama tiba-tiba ikut
merubung sekembali dari dapur, memperhatikan wajahku, “Randi ada
tahi lalat juga ya dibawah hidung? Berarti ada saingan Om Budi, nih,”
kata Mama. Om Budi adalah adik bungsu Mama. Aku langsung berlari
kecil ke kamar dan memperhatikan seksama cermin besar lemari. Ada
bayangan anak kecil yang melotot memperhatikan hidungnya dekat-dekat,
meraba pelan titik kecil hitam persis di dekat lubang hidung sebelah
kanan.
“Oh,
iya. Ada ternyata,” gumamku.
Tiba-tiba
aku teringat bahwa punya Om Budi lebih besar diameternya dan sedikit
berambut. Aku berlari kecil lagi ke ruang tengah.
“Ma,
berarti nanti tahi lalatku juga bakalan berbulu kayak punya Om Budi?”
Mama hanya tergelak, lalu balik bertanya, “Memangnya kenapa kalau
iya?”. Aku hanya meneguk ludah. Dalam pikiranku kala itu, apa
enaknya punya tahi lalat. Berambut lagi. Pasti bikin geli-geli kalau
lagi ngupil.
Belum
selesai cemasku hilang, Mama mendekatkan matanya lagi, persis seperti
ketika matanya melihat tahi lalat bawah hidungku, kali ini ke dekat
telinga kiri. “Tahi lalat lagi nih kayaknya,” batinku.
“Randi
juga ada tahi lalat di atas kuping. Mama baru lihat.” Ternyata
memang tahi lalat lagi. (Aku
juga masih heran kenapa waktu itu yang diperbincangkan soal tahi
lalat. Padahal biasanya petang-petang itu nenek dan mama—juga aku
sepulang mengaji—sudah di depan tivi menonton drama
Esperanza, Rosalinda, dan sejenisnya).
Mama
masih memindai-mindai isi rambutku. Mungkin mencari tahi lalat yang
lain. Aku agak tergeli-geli ketika rambut pendek abriku disisir jari
Mama. Mungkin karena rambut super pendek itu juga lah yang membuat
tahi lalat atas telinga itu terlihat.
Tapi
tak ada lagi. Mama mengusap-usap rambutku, “Katanya tahi lalat di
pelipis pertanda orang cerdas,” ucap Mama. Aku tersontak
kegirangan. Tersenyum-senyum kecil, tersipu malu. Tak apalah kalau
begitu. Banyak-banyak pun tahi lalat itu berkumpul di pelipisku juga
tak masalah. Asalkan jangan dibawah hidung. Sepertinya
ramal-meramal tahi lalat ini asyik juga...
Aku
berbalik memunggungi Mama, rebahan santai di tubuhnya. Dengan kaki
yang berselonjor mengarah ke nenek, kini berganti nenek yang
memerhatikaku. Kini giliran kaki. Cepat aku melihat keseluruhan kaki,
seolah berlomba menemukan tahi lalat paling cepat dengan nenek—yang
ternyata sudah lebih dulu menunjuk satu bulatan kecil coklat seperti
titik spidol di kaki kanan, dekat dengan betis.
“Wah,
biasanya ini pertanda nanti bakal pergi jauh.” Nenek menepuk pelan
kaki kecilku. Aku cuma diam, tak tahu apa maksud nenek. Siapa pula
yang mau pergi jauh-jauh? Lebih enak tinggal di rumah, bukan? Begitu
pikirku. Kaki kanan kutekuk, melihat lebih dekat tahi lalat yang
katanya dapat mengantar pergi jauh itu.
“Kaki
perantau,” kata Mama tiba-tiba, menyambung. Ia sudah menunjuk lagi
satu tahi lalat di kaki kanan bawah. Lebih hitam dari yang atas.
Lebih pekat. Aku memiringkan kaki, melihat. Memikirkan arti kata
perantau. Perantau atau rantau yang sering diceritakan nenek.
Pikiran
anak sekolah dasar sepertiku dulu tak akan jauh dari pergi ke
tempat-tempat bermain yang dilarang orangtua karena letaknya yang
jauh atau tempat-tempat dari dunia entah-berentah. Aku hanya
berkhayal dapat pergi ke negeri dongeng, bertemu kurcaci-kurcaci
cebol berkuping lancip, kuda sembrani, dan duyung. Itukah maksud
nenek dan mama? Entahlah.
Tiba-tiba
aku ingat dua tahi lalat yang masing-masing ada di pundak kiri dan
kanan.
“Kalau
tahi lalatnya di pundak, artinya apa, Ma?” aku bertanya pada Mama
sambil melorotkan sedikit kerah baju, memperlihatkan satu titik hitam
di pundak kiri. Lalu melorotkan lagi kerah baju bagian kanan, satu
tahi lalat lagi di pundak.
Kali
ini tak langsung dijawab. Mama menatap lekat pundakku. Ia melirik
nenek. “Bebanmu akan berat. Anak sulung akan selalu begitu.”
Nenek yang menjawab.
Tercenung....
Beban? Aku paham benar kata ini.
“Heh,
mandi sono! Bentar lagi mau ngaji, kan?” Tiba-tiba suara nyaring
Papa menggemuruh datang. Aku yang tak sudi diomel buru-buru beranjak
ke belakang, menyampir handuk bergegas mandi.
Namun,
sesaat termenung.
Memerhatikan
pundak yang sudah tak berbaju di kamar mandi, aku usap pelan dua tahi
lalat di pundak itu. Jika memang benar ramalan Mama, aku harap pundak
ini selamanya kokoh, tak makin lemah. Rasanya tanpa dua tahi lalat
ini, beban itu juga pasti datang. Bahkan ketika adikku baru belajar
berjalan 16 tahun lalu, beban itu sudah terasa.
Dan
kini makin berat. Sungguh.
Sayup
terdengar suara pembaca berita berceloteh mantap. Lalu suara nenek
yang mengeluh karena lupa menonton film Rosalinda sore ini. Kuguyur
air ke kepala, sambil menutup mata membayangkan diriku kelak.
Bayangan dari kisah-kisah sore bersama Nenek dan Mama yang belum
tentu nyata.
Cerdas,
berkelana jauh, dan kuat menangguh beban. Harapan besar seorang bocah
yang bahkan belum khatam Iqra’ jilid enam. Semoga memang inilah
yang tersurat di Lauh Mahfudz...
Komentar
Posting Komentar