Cuilan Kisah Masa Bocah (2) : 1 Hela Napas, 1 Langkah Menuju Kematian
Seringkali
kenangan-kenangan kecil dapat jadi peneman sunyi hati, peneguh iman, dan
penguat juang. Masa inilah satu penentu penting pribadi kita kini.
Bertumbuk-tumbuk memori baru datang, janganlah lekangkan kisah-kisah kanak
kita. Beranjak dari lampaulah, maka saat ini jadi lebih berarti....
* * *
Ketika
SD dan pertama kali belajar organ jantung, aku benar-benar ketakutan
setengah mati tiap kali tidur, apalagi jika menyamping kiri.
Karena
detak jantung amat terdengar dari telinga ketika badan rebah ke kiri,
aku tak pernah menempelkan telinga ke bantal, berharap denyut jantung
tak kentara terasa. Sering sekali pikiran kalut datang, cemas jika
tiba-tiba bunyi detak itu hilang dan, “kita mati,” jelas bu guru
ketika kami menanyakan bagaimana jika jantung berhenti berdegup.
Deg!
Aku takut sekali kata itu: mati.
Terpengaruh
film hantu juga mungkin, akhirnya aku tak pernah tidur nyenyak
beberapa malam setelahnya. Khawatir tiba-tiba ada sosok hitam
bertudung dengan sabit panjang seperti di film casper. Atau malaikat
pencabut nyawa yang mukanya garang. Malaikat pencabut nyawa akan
berubah mengerikan jika kita nakal, begitu penjelasan pak guru ngaji.
Akhirnya aku tak pernah mebiarkan mata lepas dari jendela atau pintu,
berjaga jika sewaktu-waktu malaikat itu masuk dari sana. Walau aku
juga tahu mereka bisa tembus dinding seperti jin yang aku lihat di
tivi, tapi siapa tahu kan?
Gerak
jarum di dinding benar-benar kuperhatikan. Kalau aku harus mati malam
ini, kira-kira ketika jarum menunjuk angka berapa aku akan mati?
Angka 12 kah? Atau angka 6? Atau 10? Maka, 10 detik sebelum jarum
menunjuk angka yang kuperkirakan, tanganku sudah berkeringat dingin.
Lalu...jarum
itu melewati angka tersebut dan napasku masih memburu cepat. Aku
masih hidup. Begitu seterusnya sampai mata tak kuat lagi berjaga.
Bodoh,
ya? Yah namanya juga anak kecil. Tapi, kenapa aku begitu takut ya?
Tak
mungkin hanya karena film hantu. Toh teman-temanku juga menonton film
yang sama, sama seringnya, dan sama penakutnya ketika menonton. Tapi
tak pernah mereka ketakutan setengah mati tentang mati, apalagi
terpikir tentang mati di usia SD. Dan aku sudah parno dengan itu
disaat biasanya manula yang sudah bersiap-siap dengan hal tadi.
Terlalu
terburu-buru kah karena aku masih 8 tahun?
“Satu
hela napas, satu langkah menuju kematian,” itu yang aku tulis di
bio akun twitter, kalimat dari salah satu dai kondang
Indonesia. Aku suka kalimat itu, mengingatkan aku tentang mati.
Terlalu
terburu-buru kah karena aku masih 20-an tahun?
Temanku
ada yang meninggal ketika usianya baru menginjak 7 tahun, setahun
sebelum aku belajar tentang jantung. Lalu ada yang meninggal di usia
9 tahun ketika kami sudah belajar jantung. Kemudian satu-dua lagi
beberapa tahun kemudian.
Kemudian
aku berkesimpulan, usiaku pun tak bisa dikira dengan angka. Aku—juga
orang lain—bukan hanya mati karena tua. Persiapan menghadap Tuhan
bukan cuma milik orang-orang tua nan bijak. Tapi juga anak-anak nan
lucu, remaja-remaja nan labil, dan dewasa-dewasa muda nan agresif.
“Bagaimana
kalau kita menahan napas saja?” tanyaku iseng pada seorang teman
ketika kukatakan kalimat bioku itu.
Dia
termenung. “Berarti kamu berlari menuju kematian,” jawabnya
santai.
* * *
Komentar
Posting Komentar