Jalan Baru, Semangat Baru!

Diko berjalan perlahan menuju jalan besar. Pagi ini, matahari tampak lebih bercahaya dibanding pagi-pagi mendung sebelumnya. Awan hujan sudah tak tampak dan genangan air di aspal jalan pun perlahan mengering. Langkah sepatu Diko menjadi jelas berbunyi jejak, langkahnya terseret. Wajahnya tak terlalu menujukkan cercah cahaya seperti matahari pagi hari ini.

“Pagi Nak. Cerah sekali ya pagi ini.” sapaan Pak Tua, tetangga sebelah blok rumahnya, mengagetkan Diko. Diko hanya tersenyum mengangguk.

“Iya Pak, cerah,” jawab Diko sekenanya. Tak ada yang menarik, pikir Diko dalam hati. Tak ada yang berubah. Pak Tua yang memang senang berjalan-jalan pagi mengitari komplek rumah, mengiringi langkah Diko. Diko tak acuh karena tiap pagi pun Pak Tua melakukan hal yang sama.

“Kau sakit, Nak?” tanya Pak Tua lagi.

Diko menggeleng. “Tapi wajahmu kuyu,” Pak Tua berkata santai. Tangannya masih semangat bergerak ke depan-ke belakang.

“Aku hanya bosan, Pak.”

Pak Tua mengerling Diko, bertanya lewat lirikan, heran.

“Melewati jalan yang sama tiap pagi, melihat hal yang sama tiap hari.” Diko menghela napas. Pak Tua mengangguk paham.

“Dan bertemu aku juga tiap hari,” sambung Pak Tua terkekeh. Diko pun tertawa kecil.

Pak Tua tiba-tiba menghentikan langkah. Diko pun reflek melakukan hal yang sama.

“Ayo lewat sini,” ajak Pak Tua sambil menyeret lengan Diko, ke belokan di kiri alih-alih berjalan lurus menuju jalan besar. Ibarat dikomando, kaki Diko pun merujuk jalan yang Pak Tua pilih. Kenapa lewat sini? Jalan besar kan ke arah jalan yang lurus?

“Kau pernah lewat sini?” tanya Pak Tua. Diko menggeleng.

“Jalan saja. Tak akan beda sampai 5 menit menuju jalan besar. Tak ada beda. Kau tak akan telat ke kantor.” Pak Tua terus saja berjalan menyusuri jalan. Diko hanya mengikuti disamping, tak banyak tanya lagi. Toh ia tahu jalanan di sekitaran komplek memang seharusnya tak akan terlalu jauh dari jalan besar.

Tapi makin lama langkah Diko menapaki jalan ‘baru’ ini, makin banyak pula hal baru yang Diko lihat. Ternyata ada kaktus tinggi menjulang di salah satu pekarangan rumah. Diko memandangnya takjub. Lalu ada anjing chihuahua lucu di balik pagar rumah, mengaing-aing memanggilnya. Benarkah ia memanggil Diko dan Pak Tua? Entahlah. Diko hanya asyik menatapnya. Dan ada pula penjual nasi uduk yang ramai dikerumuni anak sekolah. Diko memandangnya senang. Sudah lama ia tak ikut berkerumun membeli jajan seperti ketika sekolah dulu.

Perlahan senyum kecilnya mengembang. Matanya berbinar dan langkah kakinya mulai mantap. Ia bersenandung kecil.

“Banyak hal baru disini, Nak?” tanya Pak Tua, sekali lagi mengagetkan Diko. Kali ini Diko menjawabnya dengan anggukan semangat.

“Banyak Pak. Hanya hal-hal kecil, tapi cukup beragam untuk menemani pagi,” jawab Diko. Matanya masih melihat kiri-kanan, menyerap apapun hal baru yang ia rasa, ia lihat. Di pagi hari, di jalan kecil komplek rumahnya yang tak pernah ia lewati.

“Inilah yang aku lakukan tiap hari. Mencari jalan-jalan yang berbeda yang bisa aku susuri untuk olahraga pagi. Kalau kau masih bisa menyusuri seluruh kota dengan dua kaki, aku yang sudah tua ini hanya bertahan untuk jalan-jalan kecil di komplek. Dan inilah yang kulakukan untuk mengusir bosan. Mengganti rute jalan tiap pagi.

“Jika bosan dengan jalan ini, kau bisa mencoba jalan yang satunya,” kata Pak Tua sambil menunjuk ke arah berlawanan.

“Jangan harapkan hasil yang berbeda untuk cara yang sama. Cobalah cara-cara yang beragam untuk tahu mana yang paling baik untuk hasil yang kita harap. Inovasi kata orang sekarang. Termasuk hal kecil ini, memilih jalan pergi,” Pak Tua terkekeh lagi, kali ini sambil berjalan menghilang ke belokan berikutnya yang--lagi-lagi--belum pernah Diko susuri ketika pagi.

Hmm...  Oke, besok aku akan lewat jalan itu!


Dan pagi ini pun matahari pagi sama cerahnya dengan wajah Diko. Keep innovate!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cuilan Kisah Masa Bocah (4) : Kebun-kebun Masa Kecil Kami

Ayo, Ceritakan Liburanmu!

Cuilan Kisah Masa Bocah (5) : Aku Sudah Berkepala Dua