Misteri Matinya Si Burung Gereja


Hari ini sekitar jam 10 tadi pagi seekor burung gereja mati tenggelam di bak mandiku, terapung dengan posisi paruh terendam air dan kedua sayap yang tak mengembang, mengatup seperti kedinginan.

Bangkainya belum mengeluarkan bau. Jelas. Ia baru mati beberapa saat. Mungkin sejam yang lalu sebelum  saya temukan. Saya tak tahu kenapa. Jarang ada burung yang masuk kamar mandi yang itu. Juga kamar mandi lainnya. Saya lebih sering menangkap basah kodok sawah hijau lumut menjijikkan yang sedang asik berenang di lubang WC atau nangkring siap nyebur di pinggir ember bak mandi. Sungguh membuat jengah. Kadang butuh waktu berjam-jam membuat kodok jelek itu pergi dengan sendirinya dari kamar mandi. Mereka biasa mampir saat malam sampai subuh dan menghilang lagi ketika matahari muncul.

Saya masih heran, tak habis pikir mengapa burung mungil itu sampai mati di bak mandi kosan. Malang nian. Tak terpikirkah olehnya akan mati disana? Saya yakin, jika diminta, ia akan memilih mati di sarangnya yang nyaman.

Hmm...ada beberapa kemungkinan kenapa ia mati konyol di bak mandi itu.

Pertama. Ia tersesat, bingung mencari jalan keluar, lalu kelelahan, dan jatuh terjun bebas ke bak mandi. Tersadar sesaat karena tersedak air, meronta-ronta ingin terbang lepas dari kepungan air, namun tak ada daya untuk mengepakkan sayapnya yang lelah. Akhirnya pasrah, merelakan saat-saat terakhirnya melayang lemah dalam dinginnya air. Mengisi paksa paru-paru kecilnya dengan air, menahan perih di dada yang menunggu detak terakhir irama jantung. Kemudian perlahan malaikat Izrail pun menggenggam ruh sucinya, menariknya lembut sampai badan bersayap itu dingin tak bernyawa.

Hfff....

Terpikir oleh saya bahwa manusia pun kadang (atau mungkin banyak) yang akhirnya mati seperti itu. Kalau mau dirunut lagi jika kemungkinan itu benar, berarti burung gereja itu bisa dikatakan tak siap dengan lingkungan baru. Gugup beradaptasi dan akhirnya kalah oleh lingkungan.

Ahh.... Saya tak mau seperti itu. Ini mengingatkan saya saat pertama kali menginjak Bandung. Walau ditemani orangtua, tetap saja lingkungan baru membuat khawatir. Cemas. Gugup. Kalian tahu? Saya terkenal pendiam dan pemalu di sekolah. Juga di lingkungan rumah. Jarang sekali pergi main jauh dari rumah jika tak bersama teman yang akrab. Maka, pergi jauh dari kota kelahiran untuk waktu yang lama, tinggal sendiri tanpa keluarga, dan hanya memiliki satu-dua teman baru adalah zona yang amat tak nyaman buat saya.

Sempat terpikir: akankah kondisi ini membuat saya kacau, bingung lalu kalah?

Namun, satu per satu rasa takut itu hilang. Terbang jauh entah kemana seperti hapalan dadakan materi kuliah setelah selesai ujian. Kawan-kawan senasib seperjuangan disini menguatkan saya. Tak perlu cemas kekanak-kanakan lagi. Saya laki-laki, saya sulung. Maka, pada prinsipnya saya harus kuat karena ada adik-adik yang melihat saya, yang sedikit banyak akan bercermin pada kakaknya. Tak boleh ada tangis cengeng rindu pada orangtua atau keluhan makanan yang tak seenak hidangan rumah. 

Saya harus kuat, tak boleh kalah oleh keadaan. Berpikir tenang, rasional, dan taklukkan tanah rantaumu!

Maka, itulah yang harus dilakukan si burung gereja.  Jika itu musababnya mati.

Atau kemungkinan kedua matinya burung itu adalah ia kehausan, kemudian mencoba meneguk air dari bak. Ia bertengger di pinggir bak, lalu karena jarak permukaan air dengan pinggiran bak terlalu jauh, ia mencoba minum sambil terbang rendah di atas air. Tak kuat menahan lelahnya kepakan sayap sambil menyorongkan paruh ke air, ia pun terjatuh. Berkecipak meronta ingin terbang. Namun bulu-bulu yang basah membuatnya tak kuat mengangkat rangka sayap. Akhirnya terjebaklah ia dalam air. Air yang pada awalnya amat ia butuhkan.

Hfff....

Saya terpikir lagi. Jika memang itu penyebab kematiannya, betapa bodohnya ia. Saya rasa banyak pula manusia yang seperti itu. Menginginkan sesuatu, lalu bertindak tanpa akal panjang untuk mendapatkannya.

Merasakah? Akui saja.

Dulu saat kecil itu yang sering saya perbuat. Dan berkali-kali akhirnya terjerembab seperti burung itu. Lalu berkali-kali pula tak jera mengulanginya. Mungkin akal saat itu masih pendek. Masih bisa dijengkal tangan. Namun untungnya, sekarang hal itu sudah tak pernah terpikirkan dan terulang lagi. Tak akan saya mau seperti itu lagi.

Benarkah? (Ini suara nurani saya). Padahal baru semester lalu kau melakukannya.  

Benarkah? Itukah menurutmu yang saya lakukan?

Ya. Bukankah kau juga menyadarinya? Tidakkah kau pernah membaca kitab suci? Ada banyak peringatan tentang itu. Akui saja.

Ya. Tapi saya rasa semua orang akan melakukan hal yang sama dengan saya. Tak akan ada yang mau berlama-lama mengemban status sebagai mahasiswa karena nilai kuliah yang tak memenuhi syarat. Kecuali ia nabi. Dan nabi pun pasti tak habis pikir jika ada mata kuliah segila itu!

Tapi saya berjanji tak akan mengulanginya lagi. Akal saya memang pendek saat itu. Hanya ingin kejayaan instan dengan cara bodoh untuk meraihnya. Memang saya tak terjerembab.

Tak terjerembab di dunia. Tapi di akhirat? Hanya Allah yang Maha Tahu.

Apa lagi ya?

Eh, ada kemungkinan lain lagi sepertinya. Kemungkinan ketiga (dan ini kemungkinan paling konyol) adalah...ia ingin bisa berenang!

Hey, jangan mengelus dada dulu! Imajinasi terkadang memang aneh. Tapi jangan remehkan ide-ide gila itu.

Tak ada hak buat kita untuk melarang si burung gereja itu belajar berenang. Mungkin ia iri pada ikan-ikan kecil di selokan yang lincah menembus air atau ia pernah menonton discovery channel lalu iri pada sepupunya pinguin di kutub utara sana (saya lupa, pinguin ada di kutub utara atau selatan).

Semua orang juga pasti tahu sejarah pesawat terbang. Ide yang awalnya dikira gila, namun ketika terealisasi sanggup mengguncang dunia. Akhirnya manusia bisa terbang!
  
Intinya jangan takut untuk bermimpi. Semustahil apapun. Selama mimpi itu halal dan ada cara rasional mewujudkannya, kenapa nggak?

Burung tadi (jika ia benar-benar ingin berenang) mungkin terburu-buru mengejar mimipinya. Sehingga, kodrat alam pun ia lawan. Kaki tanpa selaput dan kepala tanpa insang bukan syarat yang menjanjikan untuk lihai menguak dalamnya samudra.

Ini juga menjadi pelajaran buat kita bahwa sunnatullah itu tak akan bisa diubah. Tapi,
akal lah yang membuat mimpi gila itu tercapai. Saat manusia dapat terbang, ia tak benar-benar terbang. Tapi, akalnyalah yang membuatnya terbang. Tak perlu melawan ketentuan alam dengan memaksakan sayap tumbuh dari punggung. Tapi, pergunakan kekuatan akal untuk membuat sayap itu “tumbuh” walau di tempat yang berbeda.

.....

Hmm.... Tak ada kemungkinan lain yang terpikirkan oleh saya. Apakah kau punya ide kemungkinan lainnya? Berbagilah disini..:)

Selamat jalan burung gereja kecil... Kami tahu kau sudah berkicau riang di barzakh sana. Insya Allah kami akan menyusul nanti. Saat itu, ceritakanlah pada kami kisah yang sebenarnya.

Kamar Kos Jatinangor, 28 Mei 2011, 14:50

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cuilan Kisah Masa Bocah (4) : Kebun-kebun Masa Kecil Kami

Ayo, Ceritakan Liburanmu!

Cuilan Kisah Masa Bocah (5) : Aku Sudah Berkepala Dua