Kakiku Juga Cuma Satu, Kawan
"Daripada merutuki panas terik, bukankah berteduh atau mengembangkan payung diatas kepala itu lebih baik?"
Disuatu kota tinggalah dua orang teman dekat bernama Bambang
dan Tarjo. Bambang berbadan besar dan gendut. Sedangkan Tarjo berbadan sedang.
Bambang tak dapat melihat dan Tarjo hanya punya satu kaki. Cepat sekali mereka
berdua akrab ketika pertama kali bersua karena Tarjo tak pernah meledek Bambang, begitu pula sebaliknya. Mereka
saling mendukung, saling menghormati.
Suatu hari, Bambang meminta Tarjo menemaninya membeli
celana. Karena tak ada penjual jasa tempa pakaian, Bambang tak dapat menempa
pakaian. Ia terpaksa pergi ke toko walau tahu kemungkinan mendapat celana
seukurannya tidak gampang.
Ketika sampai di toko pertama, Bambang bertanya pada penjual
di toko,”Apa di toko ini ada celana untuk ukuran saya?” Sambil menepuk-nepuk
pahanya, menunjukkan kalau ukuran celananya besar luar biasa. Ia yakin tanpa
melihat nomor celana pun si penjual pasti tahu ukuran celananya.
“Coba yang ini,” tawar si penjual. Bambang pun mencoba
diruang ganti dengan ditemani Tarjo.
“Tak muat kawan. Tak enak dilihat,” kata Tarjo sambil
melihat Bambang. Bambang kemudian meminta celana yang lebih besar pada penjual.
“Maaf, itu sudah ukuran paling besar.” Si penjual tak
menemukan lagi ukuran celana lebih besar dari celana tadi walau sudah
mengubek-ubek seisi toko. Bambang kecewa. Ia lalu pergi ke toko berikutnya.
“Tak ada lagi yang lebih besar, Mas,” jawab si penjual
kedua. Hhhh... Bambang menghela napas lagi. Mereka pun pergi ke penjual ketiga,
keempat, kelima, sampai seluruh toko pakaian di seluruh kota mereka datangi.
Tapi jawabannya sama.
Bambang dan Tarjo berjalan lemas, hendak pulang menuju rumah.
“Kenapa mereka tak menjual juga celana dengan ukuran raksasa? Hah? Apa mereka
pikir dunia hanya dipenuhi orang-orang ramping? Sial! Aku pikir hidup ini tak
adil.” Bambang mengumpat sepanjang jalan. Sedari tadi Tarjo hanya diam.
“Kau ada saran bagus untukku, Jo?” tanya Bambang pada Tarjo.
”Sebenarnya aku ingin menawarkan sesuatu padamu,” Tarjo
menjawab pertanyaan Bambang. Ia mengajaknya duduk sejenak.
“Jika mau, kau boleh saja mengambil sebagian bahan celanaku.
Gunting saja bagian kaki kanannya, toh aku tak memerlukan itu. Kau tahu kakiku
cuma satu kan? Ambil itu, lalu tambahkan ke celana kau yang sekarang agar
sedikit lebih besar,” lanjut Tarjo.
Bambang tak menjawab. Ia teringat sahabatnya itu hanya punya
kaki kiri.
“Apa kau pernah merasa hidup ini tak adil, Jo? Misalnya soal
pakaian? ” Bambang bertanya lagi.
Tarjo diam sejenak. “Ya, dulu. Kenapa mereka tak menjual
juga celana dengan satu kaki? Apa mereka pikir dunia hanya dipenuhi orang-orang
berkaki dua? Tapi, siapa pula aku yang memaksa pemilik pabrik tekstil membuat
celana berkaki satu? Kupikir ada hal-hal yang tak bisa kita paksakan berubah.
“Sebaliknya, ada pula
hal-hal yang bisa diubah, yaitu kita. Daripada merutuki panas terik, bukankah
berteduh atau mengembangkan payung diatas kepala itu lebih baik?”
Bambang mengangguk. Ia merasa beruntung sekali memiliki
teman seperti Tarjo. “Oke kawan. Nasib kita sama.” Bambang menepuk pundak
Tarjo. “Lalu, ada saran lain selain memotong celana kau? Tak tega aku melihat
celanamu tinggal separuh.”
Tarjo tertawa. “Hmm... Beli saja sarung,” jawab Tarjo santai.
Benar juga, kenapa tak terpikir dari tadi? Sarung kan tak perlu ukuran pinggang
yang pas atau diameter paha yang sesuai. Karena hanya punya satu lubang,
tinggal sorong, ikat sana-sini, jadi deh! Bambang membatin.
“Tapi, kalau ternyata tak juga ada sarung yang muat?”
Bambang bertanya lagi.
“Gunting sepraimu. Pasti muat.”
Komentar
Posting Komentar